Rabu, 22 Juni 2011

makalah




I.                  POKOK FIQIH MUAMALAH SEBAGAI PENGANTAR

KEWAJIBAN  MEMPELAJARI  FIQH MUAMALAH
Islam adalah agama yang sempurna (komprehensif) yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalah. Salah satu ajaran yang   sangat penting adalah bidang muamalah/ iqtishadiyah (Ekonomi Islam). Kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah, Jumlahnya lebih dari seribuan judul buku. Para  ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Seluruh Kitab Fiqh membahas fiqh ekonomi. Bahkan cukup banyak para ulama yang secara khusus membahas ekonomi Islam, seperti kitab Al-Amwal oleh Abu Ubaid, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf, Al-Iktisab fi Rizqi al-Mustathab oleh Hasan Asy-Syaibani, Al-Hisbah oleh Ibnu Taymiyah, dan banyak lagi yang tersebar di buku-buku Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, Al-Ghazali, dan sebagainya.
Namun dalam waktu yang panjang,  materi muamalah (ekonomi Islam) cenderung diabaikan kaum muslimin, padahal ajaran muamalah bagian penting dari ajaran Islam, akibatnya, terjadilah kajian Islam parsial (sepotong-sepotong). Padahal orang-orang beriman diperintahkan untuk memasuki Islam secara kaffah (menyeluruh).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
 
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُُ

 ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah) . Jangan ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. (QS.Al-Baqarah 208).

Akibat lainnya, ialah ummat Islam tertinggal dalam ekonomi dan banyak kaum muslimin yang melanggar prinsip ekonomi Islam dalam mencari nafkah hidupnya, seperti riba, maysir, gharar, haram, batil, dsb.
Ajaran muamalah adalah bagian paling penting (dharuriyat) dalam ajaran Islam. Dalam kitab Al-Mu’amalah fil Islam, Dr. Abdul Sattar Fathullah Sa’id mengatakan :
ومن ضرورات هذا الاجتماع الانسان وجود معاملات ما بين أفراده و جماعته
ولذالك جاءت الشريعة الالهية لتنظيم هذه المعاملات  وتحقيق مقصودها والفصل بينهم
Artinya :
Di antara unsur dharurat (masalah paling penting) dalam masyarakat manusia adalah “Muamalah”, yang mengatur hubungan antara individu dan masyarakat dalam kegaiatan ekonomi. Karena itu syariah ilahiyah datang untuk mengatur muamalah di antara manusia dalam rangka mewujudkan tujuan syariah dan menjelaskan hukumnya kepada mereka

Menurut ulama Abdul Sattar di atas,  para ulama sepakat tentang mutlaknya ummat Islam memahami dan mengetahui hukum muamalah maliyah (ekonomi syariah)

قد أتفق العلماء على أن المعاملات نفسها ضرورة بشرية

Artinya :
Ulama sepakat bahwa muamalat itu sendiri adalah masalah kemanusiaan yang maha penting (dharuriyah basyariyah)

Fardhu ‘Ain
Husein Shahhathah (Al-Ustaz Universitas Al-Azhar Cairo) dalam buku Al-Iltizam bi Dhawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat Maliyah (2002) mengatakan, “Fiqh muamalah ekonomi, menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Tidak ada manusia yang tidak terlibat dalam aktivitas muamalah, karena itu hukum mempelajarinya wajib ‘ain (fardhu) bagi setiap muslim.
Husein Shahhatah, selanjutnya menulis,  “Dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. Seorang Muslim yang bertaqwa dan takut kepada Allah swt, Harus berupaya keras menjadikan muamalahnya sebagai amal shaleh dan ikhlas untuk Allah semata” Memahami/mengetahui hukum muamalah maliyah wajib bagi setiap muslim, namun untuk menjadi  expert (ahli) dalam bidang ini hukumnya fardhu kifayah Oleh karena itu, Khalifah Umar bin Khattab berkeliling pasar dan berkata :
لا يبع في سوقنا  الا من قد تفقه في الدين
  “Tidak boleh berjual-beli di pasar kita, kecuali orang yang benar-benar telah mengerti fiqh (muamalah) dalam agama Islam” (H.R.Tarmizi)
Berdasarkan ucapan Umar di atas, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa umat Islam :          
Tidak boleh beraktifitas bisnis, kecuali faham tentang fikih muamalah
Tidak boleh berdagang, kecuali faham fikih muamalah
Tidak boleh beraktivitas perbankan,   kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas asuransi,       kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas pasar modal, kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas koperasi,       kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas pegadaian,    kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas reksadana,    kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas bisnis MLM,kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh beraktifitas jual-beli,        kecuali faham fiqh muamalah
Tidak boleh bergiatan ekonomi apapun,    kecuali  faham fiqh   muamalah

 Sehubungan dengan itulah Dr.Abdul Sattar menyimpulkan :

ومن هنا يتضح أن المعاملات هي من لب مقاصد الدينية لاصلاح الحياة البشرية ولذالك دعا اليها الرسل من قديم باعتيارها دينا ملزما لاخيار لأحد فيه.
Artinya : Dari sini jelaslah bahwa “Muamalat” adalah inti terdalam dari tujuan agama Islam untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para Rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, Tidak ada pilihan bagi seseorang untuk tidak mengamalkannya.
Aturan Allah tentang ekonomi disebut dengan ekonomi syariah. Umat manusia tidak boleh sekehendak hati mengelola hartanya, tanpa aturan syari’ah. Syariah misalnya secara tegas mengharamkan bunga bank. Semua ulama dunia yang ahli ekonomi Islam (para professor dan Doktor) telah ijma’ mengharamkan bunga bank. (Baca tulisan Prof.Yusuf Qardhawi, Prof Umar Chapra, Prof.Ali Ash-Sjabuni, Prof Muhammad Akram Khan). Tidak ada perbedaan pendapat pakar ekonomi Islam tentang bunga bank. Untuk itulah lahir bank-bank Islam dan lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Jika banyak umat Islam yang belum faham tentang bank syariah atau secara dangkal memandang bank Islam sama dengan bank konvensianal, maka perlu edukasi pembelajaran atau pengajian muamalah, agar tak muncul salah faham tentang syariah.
Muamalah adalah Sunnah Para Nabi    Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi sepanjang sejarah.
وهذه سنة مطردة في الانبياء عليهم السلام كما قال تعالى

Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Artinya :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.
Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai“Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda”atau lebih tepatnya “aturan Islam  tentang kegiatan ekonomi manusia”

Ruang Lingkup Muamalah
1.    Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ’Ukud )akad-akad)
2.    Buyu’ (tentang jual beli)
3.    Ar-Rahn (tentang pegadaian)
4.    Hiwalah (pengalihan hutang)
5.    Ash-Shulhu (perdamaian  bisnis)
6.    Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)
7.    Syirkah (tentang perkongsian)
8.    Wakalah (tentang perwakilan)
9.    Wadi’ah (tentang penitipan)
10.    ‘Ariyah (tentang peminjaman)
11.    Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah)
12.    Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah)
13.    Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)
14.    Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)
15.    Muzara’ah (kerjasama pertanian)
16.    Kafalah (penjaminan)
17.    Taflis (jatuh bangkrut)
18.    Al-Hajru (batasan bertindak)
19.    Ji’alah (sayembara, pemberian fee)
20.    Qaradh (pejaman)
21.    Ba’i Murabahah
22.    Bai’ Salam
23.    Bai Istishna’
24.    Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
25.    Ba’i Sharf  dan transaksi valas
26.    ’Urbun (panjar/DP)
27.    Ijarah (sewa-menyewa)
28.    Riba, konsep uang dan kebijakan moneter
29.    Shukuk (surat utang  atau obligasi)
30.    Faraidh (warisan)
31.    Luqthah (barang tercecer)
32.    Waqaf
33.    Hibah
34.    Washiat
35.    Iqrar (pengakuan)
36.    Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah)
37.    
37.Qism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat).  
38 Ibrak (pembebasan hutang)
39.    Muqasah (Discount)
40.    Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur
41.    Baitul Mal dan Jihbiz
42.    Kebijakan fiskal Islam
43.    Prinsip dan perilaku konsumen
44.    Prinsip dan perilaku produsen
45.    Keadilan Distribusi
46.    Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh)
47.    Jual beli gharar, bai’ najasy, bai’ al-‘inah,  Bai wafa, mu’athah, fudhuli, dll.
48.    Ihtikar dan monopoli
49.    Pasar modal Islami dan Reksadana
50.    Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain

Pengertian dan Ruang Lingkup Fiqh Muamalah

Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari'at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci
Fiqh artinya faham atau tahu. Menurut istilah yang digunakan para ahli Fiqh (fuqaha). Fiqh itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari'at Islam yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Menurut Hasan Ahmad Al-Khatib: Fiqhul Islami ialah sekumpulan hukum syara', yang sudah dibukukan dalam berbagai madzhab, baik dari madzhab yang empat atau dari madzhab lainnya, dan yang dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat thabi'in, dari fuqaha yang tujuh di Makkah, di Madinah, di Syam, di Mesir, di Iraq, di Bashrah dan sebagainya. Fuqaha yang tujuh itu ialah Sa'id Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, 'Urwah bin Zubair, Sulaiman Yasar, Al-Qasim bin Muhammad, Charijah bin Zaid, dan Ubaidillah Abdillah.
Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqh itu ialah ilmu pengetahuan yang membiacarakan/membahas/memuat hukum-hukum Islam yang bersumber bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah dalil-dalil Syar'i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Dengan demikian berarti bahwa fiqh itu merupakan formulasi dari Al-Qur'an dan Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh ummatnya. Hukum itu berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syari'at Islam dengan tanda-tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam).
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan sebagainya.
Disamping hukum itu ditunjukan pula alat dan cara (melaksanakan suatu perbuatan dalam dalam menempuh garis lintas hidup yang tak dapat dipastikan oleh manusia liku dan panjangnya. Sebagai mahluk sosial dan budaya manusia hidup memerlukan hubungan, baik hubungan dengan dririnya sendiri ataupun dengan sesuatu di luar dirinya. Ilmu fiqh membicarakan hubungan itu yang meliputi kedudukannya, hukumnya, caranya, alatnya dan sebagainya. Hubungan-hubungan itu ialah:
a.
Hubungan manusia dengan Allah, Tuhannya dan para Rasulullah;
b.
Hubungan manusia dengan dirinya sendiri;
c.
Hubungan manusia dengan keluarga dan tetangganya;
d.
Hubungan manusia dengan orang lain yang seagama dengan dia;
e.
Hubungan manusia dengan orang lain vang tidak seagama dengan dia;
f.
Hubungan manusia dengan makhluk hidup yang lain seperti binatang dan lainnya;
g.
Hubungan manusia dengan benda mati dan alam semesta;
h.
Hubungan manusia dengan masyarakat dan lingkungannya;
i.
Hubungan manusia dengan akal fikiran dan ilmu pengetahuan; dan
j.
Hubungan manusia dengan alam gaib seperti syetan, iblis, surga, neraka, alam barzakh, yaumil hisab dan sebagainya.
Hubungan-hubungan ini dibicarakan dalam fiqh melalui topik-topik bab permasalahan yang mencakup hampir seluruh kegiatan hidup perseorangan, dan masyarakat, baik masyarakat kecil seperti sepasang suami-isteri (keluarga), maupun masyarakat besar seperti negara dan hubungan internasional, sesuai dengan macam-macam hubungan tadi. Meskipun ada perbedaan pendapat para ulama dalam menyusun urutan pembahasaan dalam membicarakan topik-topik tersebut, namun mereka tidak berbeda dalam menjadikan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad sebagai sumber hukum.Walaupun dalam pengelompokkan materi pembicaraan mereka berbeda, namun mereka sama-sama mengambil dari sumber yang sama.
Definisi Muamalah
Kata “muamalah” dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata (العمل) yang merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. Kata “muamalah” dengan wazan (مُفَاعَلَة) dari kata (عامل) yang bermakna bergaul (التَّعَامُل).
Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat, kata “muamalah” digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga “muamalah” membahas hak-hak makhluk dan “ibadah” membahas hak-hak Allah. Namun, mereka berselisih dalam apa saja yang masuk dalam kategori muamalah tersebut dalam dua pendapat:
Muamalah adalah pertukaran harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai’ (jual-beli), as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian), ar-rahn (gadai), al-kafaalah, al-wakalah (perwakilan), dan sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah.
Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan kepada maslahat manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab al-Malikiyah.
Oleh karena itu sebagian ahli fikih membagi fikih menjadi empat kategori:
a. Fikih Ibadah
b. Fikih Muamalah
c. Fikih Ankihat (nikah)
d. Hukum-hukum kriminal dan peradilan.
Yang menjadi topik pembahasan kita adalah “fikih muamalah” tentang pertukaran harta benda.
Pengertian Harta (Maal)
Setelah jelas bahwa pembahasan kita hanya membahas muamalah maliyah (harta), maka perlu kita perlu mengetahui pengertian al-maal dalam syariat Islam.
Yang dimaksud dengan harta (al-maal) dalam pengertian syariat adalah:
هُوَ كُلُّ عَيْنٍ مُبَاحَةُ النَّفْعِ بِلاَ حَاجَةٍ
“Semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena hajat.”
Termasuk dalam definisi ini: emas, perak, gandum, kurma, garam, mobil, bejana, rumah, dan lain-lainnya.
Yang dimaksud dengan kata (مباحة النفع) adalah benda tersebut memiliki manfaat, sehingga benda yang tidak memiliki manfaat tidak termasuk dalam definisi ini. Benda yang diharamkan pemanfaatannya, seperti alat-alat musik, juga tidak termasuk dalam definisi ini.
Adapun maksud pernyataan (بلا حاجة) adalah kebolehannya bukan disebabkan kebutuhan dan darurat, sehingga mengeluarkan semua yang dibolehkan karena kebutuhan dan darurat, seperti bangkai yang diperbolehkan karena darurat atau kulit bangkai yang diperbolehkan pemanfaatannya karena kebutuhan. Demikian juga, anjing pemburu diperbolehkan karena hajat (kebutuhan) .
Para ulama pun memakai kata harta benda (المال) untuk tiga hal, yaitu:
• Barang dagangan (الأعيان العروض), seperti mobil, rumah, bahan makanan, pakaian, dan selainnya.
• Jasa pemanfaatan (المنافع), seperti pemanfaatan menempati rumah, pemanfaatan jual-beli di satu toko, dan lain-lainnya.
• Benda (العين) yang dimaksudkan adalah emas dan perak dan yang menggantikan keduanya dari uang kertas.
Walaupun sebagiannya memandang ini termasuk dalam barang dagangan. Sebagian ulama memasukkan mata uang termasuk dalam al-arudh.
Karena rumusan fiqh itu berbentuk hukum hasil formulasi para ulama yang bersumber pada Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad, maka urutan dan luas pembahasannya bermacam-macam. Setelah kegiatan ijtihad itu berkembang, muncullah imam-imam madzhab yang diikuti oleh murid-murid mereka pada mulanya, dan selanjutnya oleh para pendukung dan penganutnya. Diantara kegiatan para tokoh-tokoh aliran madzhab itu, terdapat kegiatan menerbitkan topik-topik (bab-bab) pembahasan fiqh. Menurut yang umum dikenal di kalangan ulama fiqh secara awam, topik (bab) pembahasan fiqh itu adalah empat, yang sering disebut Rubu':
-
Rubu' ibadat;
-
Rubu' muamalat;
-
Rubu' munakahat; dan
-
Rubu' jinayat.
Ada lagi yang berpendapat tiga saja; yaitu: bab ibadah, bab mu'amalat, bab 'uqubat. Menurut Prof. T.M. Hasbi Ashiddieqqi, bila kita perinci lebih lanjut, dapat dikembangkan menjadi 8 (delapan) topik (bab):
a. Ibadah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini:
1.
Thaharah (bersuci);
2.
Ibadah (sembahyang);
3.
Shiyam (puasa);
4.
Zakat;
5.
Zakat Fithrah;
6.
Haji;
7.
Janazah (penyelenggaraan jenazah);
8.
Jihad (perjuangan);
9.
Nadzar;
10.
Udhiyah (kurban);
11.
Zabihah (penyembelihan);
12.
Shayid (perburuan);
13.
'Aqiqah;
14.
Makanan dan minuman.
b. Ahwalusy Syakhshiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan:
1.
Nikah;
2.
Khithbah (melamar);
3.
Mu'asyarah (bergaul);
4.
Nafaqah;
5.
Talak;
6.
Khulu';
7.
Fasakh;
8.
Li'an;
9.
Zhihar;
10.
Ila';
11.
'Iddah;
12.
Rujuk;
13.
Radla'ah;
14.
Hadlanah;
15.
Wasiat;
16.
Warisan;
17.
Hajru; dan
18.
Perwalian.
c. Muamalah Madaniyah
Biasanya disebut muamalah saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan, yang meliputi masalah:
1.
Buyu' (jual-beli);
2.
Khiyar;
3.
Riba (renten);
4.
Sewa-menyewa;
5.
Hutang-piutang;
6.
Gadai;
7.
Syuf'ah;
8.
Tasharruf;
9.
Salam (pesanan);
10.
Jaminan (borg);
11.
Mudlarabah dan Muzara'ah;
12.
Pinjam-meminjam;
13.
Hiwalah;
14.
Syarikah;
15.
Wadi'ah;
16.
Luqathah;
17.
Ghasab;
18.
Qismah;
19.
Hibah dan Hadiyah;
20.
Kafalah;
21.
Waqaf*;
22.
Perwalian;
23.
Kitabah; dan
24.
Tadbir.
*Dari segi niat dan manfaat, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah; tetapi dari segi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.
d. Muamalah Maliyah
Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil atau besar seperti negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi:
1.
Status milik bersama baitul mal;
2.
Sumber baitul mal;
3.
Cara pengelolaan baitul mal;
4.
Macam-macam kekayaan atau materi baitul mal;
5.
Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal;
6.
Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
e. Jinayah dan 'Uqubah (pelanggaran dan hukuman)
Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di bicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi:
1.
Pelanggaran;
2.
Kejahatan;
3.
Qishash (pembalasan);
4.
Diyat (denda);
5.
Hukuman pelanggaran dan kejahatan;
6.
Hukum melukai/mencederai;
7.
Hukum pembunuhan;
8.
Hukum murtad;
9.
Hukum zina;
10.
Hukuman Qazaf;
11.
Hukuman pencuri;
12.
Hukuman perampok;
13.
Hukuman peminum arak;
14.
Ta'zir;
15.
Membela diri;
16.
Peperangan;
17.
Pemberontakan;
18.
Harta rampasan perang;
19.
Jizyah;
20.
Berlomba dan melontar.
f. Murafa'ah atau Mukhashamah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:
1.
Peradilan dan pendidikan;
2.
Hakim dan Qadi;
3.
Gugatan;
4.
Pembuktian dakwaan;
5.
Saksi;
6.
Sumnpah dan lain-lain.
g. Ahkamud Dusturiyyah
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1.
Kepala negara dan Waliyul amri;
2.
Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri;
3.
Hak dan kewajiban Waliyul amri;
4.
Hak dan kewajiban rakyat;
5.
Musyawarah dan demokrasi;
6.
Batas-batas toleransi dan persamaan; dan lain-lain
h. Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)
Dalam bab ini dibicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok masalah hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi:
1.
Hubungan antar negara, sama-sama Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam situasi perang;
2.
Ketentuan untuk orang dan damai;
3.
Penyerbuan;
4.
Masalah tawanan;
5.
Upeti, Pajak, rampasan;
6.
Perjanjian dan pernyataan bersama;
7.
Perlindungan;
8.
Ahlul 'ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
9.
Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
Setelah memperhatikan begitu luasnya ruang lingkup pembahasan fiqh. dapatlah kita bayangkan seluas apa pula ruang lingkup pengajaran agama.


Urgensi Mengenal Fikih Muamalah Maliyah

Muamalah maliyah adalah medan hidup yang sudah tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak zaman klasik, bahkan zaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual-beli yang kompleks dan multidimensional. Perkembangan itu terjadi karena semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda, dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewa, yang berutang dan berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau juru tulis, hingga calo atau broker. Semuanya menjadi majemuk dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan pendidikan yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Sarana atau media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan zaman yang juga kian berkembang.

Oleh sebab itu, urgensi muamalah maliyah yang sangat erat dengan perekonomian Islam ini akan tampak bila kita melihat salah satu bagiannya, yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi, perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang berwirausaha) secara umum.

Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyarat yang lebih banyak untuk menjadi wirausahawan dan pengelola modal yang berhasil, karena seorang muslim selalu terikat-–selain dengan kode etik ilmu perdagangan secara umum–dengan aturan dan syariat Islam dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual-beli misalnya. Yang demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi setan pada diri manusia untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan.

Demikian pentingnya permasalahan ini, sehingga kita semua harus bersabar dan meluangkan waktu mempelajari dasar-dasar muamalah maliyah dan berbagai jenisnya. Mudah-mudahan dengan izin dan taufik dari Allah ‘Azza wa Jalla kita dapat mengenal dan mengetahui hukum-hukum yang ada seputar aktivitas muamalah maliyah tersebut melalui kaidah dasar yang telah ditetapkan para ulama. Untuk itulah diperlukan pengetahuan dasar tentang definisi muamalah maliyah.

Urgensi Mengenal Konsep Syariat Islam dalam Pengelolaan Harta (al-Muamalat al-Maliyah).
Setiap orang harus dan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan segala kemampuan dan cara yang ada. Tidak ada orang yang dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa berinteraksi dan berhubungan dengan yang lain, sehinga diperlukan satu cara yang mengatur mereka dalam memenuhi kebutuhannya tersebut, salah satunya adalah pengelolaan harta, baik dengan jual beli atau yang lainnya. Oleh karena itu, Allah karuniakan hamba-hamba-Nya kemampuan dan naluri untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan dan menuntun hamba-Nya tersebut dengan aturan dan arahan yang dapat menjauhkan mereka dari kemurkaan-Nya.
Di zaman sekarang masalah pengelolaan harta khususnya jual beli dan bentuk-bentuknya berkembang pesat dan cukup pelik untuk dimengerti dari yang tradisional, konvensional sampai yang multilevel. Hal ini menuntut setiap muslim untuk mengerti hukum syariat tentang hal itu, ditambah dewasa ini kaum muslimin sangat meremehkan dan tidak memperhatikan lagi masalah halal dan haram dalam usaha mereka. Padahal, kehalalan satu usaha mencari nafkah merupakan masalah besar dan penting dalam pandangan para salaf shalih. Mereka telah memberikan perhatian sangat besar dan serius dalam hal ini, sebab ini sangat mempengaruhi makanan dan minuman yang dimakan seseorang. Cukuplah bagi kita  hadits nabi yang berbunyi,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Sesungguhnya Allah Ta'ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya,'Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.' (Qs. al-Mu'minun: 51). Dan Ia berfirman, 'Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.' (Qs. al-Baqarah: 172). Kemudian, beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo'a, 'Ya Rabb, Ya Rabb, sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?!” (Dikeluarkan oleh Muslim dalam az-Zakah no. 1015 dan at-Tirmidzi dalam Tafsirul Qur'an, no. 2989).
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa amal tidak diterima dan tidak suci kecuali dengan makan makanan yang halal. Sedangkan makan makanan yang haram dapat merusak amal perbuatan dan membuatnya tidak diterima.” (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 1/260 dinukil dari Bai' al-Taqsith Ahkamuhu wa Adabuhu, Hisyam bin  Muhammad bin Sa'id Alu Barghasy, cetakan pertama tahun 1419 H., Dar al-Wathan, KSA, hal. 10).
Demikian juga Prof. Dr. Abdurrazaaq bin Abdulmuhsin al-'Abad menjelaskan hadits ini dengan menyatakan, “Rasulullah memulai hadits ini dengan isyarat akan bahayanya makan barang haram dan hal itu termasuk pencegah dikabulkannya doa. Terpahami darinya, bahwa memperbagus makanan (memakan makanan halal) menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa, sebagaimana dikatakan Wahb bin Munabbih, 'Siapa yang ingin dikabulkan Allah doanya, maka hendaklah memperbagus makanannya.' dan ketika Sa'd bin Abi Waqqash ditanya mengenai sebab dikabulkan doanya di antara para sahabat Rasulullah, beliau berkata, 'Aku tidak mengangkat sesuap makanan ke mulutku, kecuali aku mengetahui dari mana datangnya dan dari mana ia keluar.'”
Perhatikan juga sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
إِنَّهُ لاَ يَرْبُوْ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتْ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
Sesungguhnya, tidak berkembang daging yang tumbuh dari makanan yang haram kecuali Neraka yang lebih pantas baginya.” (Bagian dari hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab al-Shalat Bab Fadhlu Shalat, no. 614 dari Ka'b bin 'Ujrah pada sebagian dari hadits panjang. Abu 'Isa al-Tirmidzi berkata, ”Hadits ini hasan gharib dan dishahihkan oleh Ahmad Muhamamd Syakir dalam komentar beliau terhadap Sunan al-Tirmidzi,  hal. 2/515 dan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 501).
Jika kita heran dan bertanya-tanya, “Mengapa bencana menimpa kita, kemakmuran sulit dicapai, ketenangan hidup dan kemenangan tak juga diraih? Mengapa doa-doa kita tidak terkabulkan?”
Kemungkinan jawabannya adalah kelalaian kita dalam memenuhi kebutuhan primer dan sekunder yang baik dan ketidakpedulian kita tentang masalah halal dan haramnya. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah dalam hadits di atas dan juga para ulama, di antranya Yusuf bin Asbath yang berkata, “Telah sampai kepada kami, bahwa doa seorang hamba ditahan naik ke langit lantaran buruknya makanan (makanannya tidak halal).” (Jami'ul 'Ulum wa al-Hikam, 1/275. Dinukil dari Bai' al-Taqsith, op.cit hal. 11). Wajar saja bila Khalifah 'Umar bin al-Khaththab -meski masih banyak sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memukul orang dengan dirrah, lalu berkata, “Janganlah berdagang di pasar kami, kecuali orang faqih, [mengerti tentang jual beli], jika tidak, maka dia makan riba.”(Dinukil dari kitab Bai' al-Taqsith, op.cit hal. 11). Demikian juga Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Siapa yang berdagang sebelum mengerti fiqih, maka ia akan tercebur ke dalam riba, kemudian tercebur lagi dan kemudian akan tercebur lagi.” artinya terjerumus ke dalamnya dan kebingungan.”(Dinukil dari kitab Bai' al-Taqsith, op.cit hal. 11).
Ini di zaman Umar dan Ali yang masih banyak para ulama. Bagaimana di zaman sekarang yang sudah beraneka ragam corak dan bentuk perdagangan dan sedikitnya para ulama?!!!
Tidak diragukan lagi, bahwa makanan dan usaha yang halal menuntut setiap manusia agar sadar dan mengetahui dengan baik setiap muamalat yang dilakukannya, mana yang haram dan mana yang halal, serta yang syubhat (tidak jelas).
Oleh karenanya, mengenal konsep Islam dalam pertukaran harta, baik dengan jual beli atau yang lainnya, termasuk hal yang sangat urgen (penting) yang wajib diperhatikan, khususnya dewasa ini di mana kaum muslimin mulai mau kembali merujuk agamanya. Sehingga, sudah menjadi tugas kita untuk memberikan pencerahan kepada umat ini seputar hukum jual beli, agar mereka dapat memperoleh makanan dan minuman yang halal. Kemudian, mudah-mudahan dengan itu akan membantu mencapai kejayaan umat ini. Demikian juga, mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarakat kita agar memiliki sandaran syariat dalam setiap transaksi mereka.
Hal ini semakin tampak urgensinya bila melihat sebagian besar transaksi perdagangan mereka dewasa ini terpengaruh (suasana) pasar yang ada, yang dalam banyak bentuknya tidak berdiri diatas syariat dan aturan Allah. Ditambah ketidaktahuan kaum muslimin terhadap ajaran Islam seputar permasalahan ini.

KAIDAH FIQH BERKAITAN DENGAN MUAMALAH EKONOMI
Untuk mempelajari dan menelaah muamalah maliyah diperlukan pengetahuan yang cukup seputar kaidah dasar (الضوابط ) dalam muamalah, di antaranya:
===============
1. Asal dalam Muamalah Adalah Halal
(الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ)
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahkan Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa sebagian ulama menyampaikan ijma’ (kesepakatan) dalam hal ini. Namun, hikayat ijma’ ini tidak benar karena mazhab azh-Zhahiriyah menyelisihinya (tidak menyetujui kaidah ini).
Pengertian Kaidah
Pengertian kaidah ini adalah “kaidah dalam semua akad yang terjadi antara dua pihak adalah halal dan mubah secara umum”. Sehingga semua bentuk muamalah yang belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh, kecuali ada dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari asalnya dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal.
Adapun bila tidak ada dalil yang melarangnya, maka ia berlaku sesuai asal, yaitu boleh dan mubah.
Dasar Kaidah
Dalil kaidah dasar ini adalah:
1. Ayat-ayat yang menunjukkan perintah menunaikan akad transaksi dan perjanjian, seperti Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungan jawabnya.” (Qs. al-Isra`: 34)
Kedua ayat ini berisi perintah menunaikan transaksi dan muamalah secara mutlak, baik bentuk dan lafalnya ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum ada. Oleh karen itu, hal ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal.
2. Ayat-ayat yang menunjukkan pambatasan hal-hal terlarang pada perbuatan dan sifat tertentu, seperti firman Allah ‘Azza wa Jalla,
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi–karena sesungguhnya semua itu kotor–atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ “ (Qs. al-An’am: 145)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَلاَ تَقْتُلُواْ أَوْلاَدَكُم مِّنْ إمْلاَقٍ نَّحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُواْ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan–kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka–dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, serta janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.’ Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami-(nya).” (Qs. al-An’am: 151)
Serta firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَاناً وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji (baik yang tampak atau yang tersembunyi), perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Qs. al-A’raf: 33)
Dalam ayat-ayat di atas, Allah membatasi hal-hal terlarang pada jenis dan sifat tertentu saja, sedangkan yang tidak diketahui ada pengharamannya, maka diberlakukan hukum halal, karena tidak boleh ada hukum untuk para mukallaf tanpa dasar dalil.
3. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)
Dalam ayat ini, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan kecuali saling suka (taradhi). Ayat ini menunjukkan bahwa asal dalam muamalah adalah halal.
4. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
“Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (Qs. al-An’am: 119)
5. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَحَلَّ اللهُ فِيْ كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاقْبَلُوْا مِنَ الله عَافِيَتَهُ { وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا }
“Semua yang Allah halalkan dalam al-Quran maka ia halal, yang diharamkan maka ia haram, dan yang didiamkan maka itu tidak ada hukumnya (boleh). Terimalah dari Allah kemudahan-Nya. (Allah berfirman), ‘Rabbmu tidak pernah lupa.’ ” (Hr. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya: 2/137/12; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 2256)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut hukum sesuatu yang tidak diharamkan dan dihalalkan dengan kata “afwun” (dimaafkan atau boleh). Ini menunjukkan bahwa asal sesuatu dalam muamalah adalah halal.
6. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إنَّ أَعْظَمَ النَّاسِ جُرْماًَ مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لمَ ْيُحْرَمْ فَحُرِمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ ” متفق عليه
“Sungguh, orang yang paling besar kejahatannya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan dengan sebab pertanyaannya.’ (Muttafaqun ‘alaihi)
7. Ditinjau secara dalil aqli (akal) dengan tiga hal:
a. Akad transaksi termasuk perbuatan dan aktivitas yang sudah menjadi adat kebiasaan. Manusia sudah biasa melakukannya dalam mendapatkan kebutuhan dunia mereka, maka asal hukumnya adalah boleh dan tidak dilarang. Sehingga dijadikan dasar sampai ada dalil yang mengharamkannya.
b. Syariat tidak mengharamkan jenis akad kecuali hanya beberapa saja, maka tidak adanya dalil pengharaman menunjukkan ketidak-haramannya.
c. Dalam keabsahan akad transaksi, tidak disyaratkan adanya izin khusus dari syariat. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Kaum muslimin apabila melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui keharaman dan kehalalannya, maka seluruh ahli fikih–yang aku ketahui–menghukumi keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini keharamannya. Walaupun transaktor (orang yang bertransaksi –ed) tersebut belum mengetahui penghalalannya–baik dengan ijtihad atau taklid–, dan juga tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa akad transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang yang meyakini bahwa syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus syariat menjadi syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah, kecuali setelah adanya izin kebolehannya.”
====================
2. Asal Dalam Syarat-Syarat yang Ditetapkan dalam Muamalah Adalah Halal
(الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ)
Inilah pendapat yang diambil oleh jumhur ulama.
Pengertian Kaidah
Semua syarat yang diajukan salah satu transaktor, baik syarat tersebut merupakan tuntutan transaksi (akad), syarat untuk kemaslahatan akad (transaksi), atau syarat sifat atau syarat manfaat pada asalnya adalah boleh.
الأَصْلُ فِي الشُّرُوْطِ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْحِلُّ وَالإِبَاحَةُ إِلاَّ بِدَلِيْلٍ
Kaidah ini termasuk kaidah penting dalam fikih muamalah, karena berhubungan dengan syarat yang memberikan manfaat kepada kedua transaktor atau salah satunya.
Yang juga dimaksud dengan syarat yang ditetapkan dalam akad (الشروط في العقد) adalah syarat yang ditetapkan salah satu transaktor yang memiliki manfaat dalam transaksi tersebut.
Syarat-syarat ini tidak lepas dari tiga keadaan, yaitu:
1. Syarat-syarat yang ditetapkan syariat kebolehannya. Ini diperbolehkan.
2. Syarat-syarat yang ditetapkan syariat larangannya. Ini jelas dilarang.
3. Syarat-syarat yang didiamkan oleh syariat. Ini kembali ke hokum asalnya.
Kapan Syarat Tersebut Ditetapkan?
Syarat itu ditetapkan sebelum akad, ketika dua transaktor tersebut menyepakati syarat tersebut. Contohnya, penjual mensyaratkan pemanfaatan barang dagangannya beberapa waktu tertentu atau pembeli mensyaratkan pembayaran ditunda (utang). Dapat pula dilakukan ketika transaksi dan di masa waktu khiyaar.
Contohnya, seorang menyatakan dalam ijabnya, “Aku jual mobil ini dengan syarat aku gunakan dahulu selama sehari atau dua hari.”
Contoh syarat dalam zaman (masa berlakunya) khiyar (khiyar majelis dan khiyar syarat) adalah seseorang menjual mobilnya, kemudian sebelum berpisah–di majelis tersebut–sang penjual mensyaratkan untuk memanfaatkannya selama sehari atau dua hari. Demikian juga di zaman khiyar syarat, diperbolehkan mengajukan syarat. Contohnya, seorang menjual mobil dan mengatakan, “Saya memiliki hak khiyar selama tiga hari.” Kemudian, di masa tersebut ia mengajukan syarat lagi untuk menggunakan kendaraan tersebut selama sepekan.
Ini semua sah apabila terjadi kesepakatan antara dua transaktor tersebut.
Tentang permasalahan khiyaar akan dibahas dalam pembahasan khusus mendatang, insya Allah.
Dengan demikian, asal dalam syarat-syarat ini adalah halal dan mubah. Dengan demikian, diperbolehkan bagi para transaktor untuk memberikan syarat sesukanya, kecuali bila ada dalil yang melarang syarat tersebut. Apabila dalil larangan tersebut ada, maka ia keluar dari hukum asalnya. Ini semua dalam rangka mempermudah orang bermuamalah dan mewujudkan kemaslahatan bagi mereka.
Syarat yang Shahih
Sebagian ulama membagi syarat yang shahih (syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya, serta memiliki maslahat untuk akad tersebut) dalam muamalah menjadi tiga, yaitu:
1. Syarat termasuk tuntutan akad transaksi (شروط من مقتضى العقد), seperti pembayaran kontan dengan penyerahan barang.
2. Syarat termasuk kemaslahatan akad (شروط من مصلحة العقد), seperti syarat tempo, gadai, atau syarat bentuk barang.
3. Syarat memanfaatkan barang yang diperdagangkan (شروط انفاع المبيع في المعلوم), seperti syarat mengantarkan pulang dengan kendaraan yang dijual atau syarat menggunakan rumah yang dijual dalam waktu tertentu oleh penjual.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pada asalnya, syarat dalam muamalah adalah halal dan boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.
Dasar Kaidah
Kaidah ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)
Juga firman Allah ‘Azza wa Jalla ,
وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
“Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Qs. al-Isra`: 34)
Perintah menunaikan akad (transaksi) mengandung perintah menunaikan asal dan sifatnya, dan di antara sifatnya adalah syarat-syarat dalam transaksi tersebut.
Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
“Kaum muslimin bersama syarat-syaratnya.” (Hr. al-Bukhari)
==============
3. Asal Setiap Muamalah Adalah Adil dan Larangan Berbuat Zalim serta Memperhatikan Kemaslahatan Kedua Belah Pihak dan Menghilangkan Kemudharatan.
(الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا)
Pengertian Kaidah
Kaidah ini berlaku pada muamalah dan selainnya, bahkan juga dalam masalah i’tikad. Pada asalnya, dalam seluruh akad transaksi harus adil, dan demikianlah yang diajarkan syariat Islam.
Sudah menjadi kesepakatan semua syariat Allah untuk mewajibkan keadilan dan mengharamkan kezaliman dalam segala sesuatu dan kepada segala sesuatu. Allah mengutus para Rasul-Nya dengan membawa kitab-kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan pada hak-hak Allah dan makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, serta telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (Qs. al-Hadid: 25)
Untuk menegaskan perintah adil dan pengharaman kezaliman Allah, pertama adalah Allah mengharamkannya atas diri-Nya, kemudian Allah menjadikannya terlarang di antara para makhluk-Nya, sebagaimana tertuang dalam hadits qudsi yang berbunyi,
أَنَّ اللَّه تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا
“Sungguh, Allah telah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, sungguh aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan menjadikannya terlarang di antara kalian, maka janganlah saling menzalimi!’ “ (Hr. Muslim)
Jelaslah, kezaliman terlarang dalam semua keadaan, dan keadilan adalah wajib dalam semua keadaan, sehingga dilarang berbuat zalim kepada orang lain, baik muslim atau kafir.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua kebaikan masuk dalam keadilan dan semua kejelekan masuk dalam kezaliman. Oleh karena itu, keadilan adalah perkara wajib dalam setiap sesuatu dan atas setiap orang, dan kezaliman dilarang pada setiap sesuatu dan atas setiap orang, sehingga dilarang menzalimi seorang pun–baik muslim, kafir, atau zalim–, bahkan boleh atau wajib berbuat adil terhadap kezaliman juga.”
Beliau pun menyatakan, “Semua yang Allah larang kembali kepada kezaliman dan semua yang diperintahkan kembali kepada keadilan.”
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Maidah: 8)
Hal ini karena kezaliman adalah sumber kerusakan dan keadilan adalah sumber kesuksesan yang menjadi tonggak kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat, sehingga manusia sangat membutuhkannya dalam segala kondisi. Ketika perniagaan dan muamalah adalah pintu yang besar bagi kezaliman manusia dan pintu untuk memakan harta orang lain dengan batil, maka larangan zalim dan pengharamannya termasuk maqashid syariah terpenting dalam muamalah. Kewajiban berbuat adil dan larangan berbuat zalim menjadi kaidah terpenting dalam muamalah.
Dasar Kaidah
Banyak nash (dalil) al-Quran dan as-Sunnah yang memerintahkan berbuat adil dan melarang berbuat zalim, di antaranya adalah:
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) untuk menetapkan dengan adil apabila menetapkan hukum di antara manusia.” (Qs. an-Nisa`: 58)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil. Janganlah pula kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 188)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Jangan pula kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. an-Nisa`: 29)
Ayat-ayat di atas berisi perintah merealisasikan dan menegakkan keadilan di antara manusia, karena seluruh larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala kembali kepada kezaliman. Adapun hadits-hadits larangan dan pengharaman kezaliman dalam muamalah sangat banyak, di antaranya:
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ
“Sesungguhnya, darah, harta, dan kehormatan kalian diharamkan di antara kalian seperti keharaman hari kalian ini, bulan kalian ini, di negeri kalian ini.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِمَا يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيْهِ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Dengan alasan apa salah seorang kalian mengambil harta saudaranya tanpa hak?” (Hr. Muslim)
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Atas setiap muslim terhadap muslim yang lainnya diharamkan darah, harta, dan kehormatannya.” (Hr. Muslim)
Di antara dalil kewajiban berbuat adil dan larangan zalim adalah ijma’ (kesepakatan) ulama tentang pengharaman mengambil harta orang lain dengan zalim dan permusuhan.
Melalui hal ini, telah jelaslah bahwa keadilan dan larangan zalim adalah pokok wajib dalam muamalah, karena hanya dengannya muamalah manusia akan baik dan langgeng.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Wajib mengadili manusia dalam permasalahan harta dengan adil sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, seperti pembagian warisan kepada ahli waris sesuai tuntunan al-Quran dan as-Sunnah. Demikian juga dalam muamalah, berupa jual-beli, sewa-menyewa, wakalah, syarikat, pemberian, dan sejenisnya dari muamalah yang berhubungan dengan akad transaksi dan serah terima, maka bersikap adil dalam masalah tersebut adalah tonggak alam semesta yang menjadi dasar baiknya dunia dan akhirat.”
Di antara bentuk sikap adil dalam muamalah ada yang sudah jelas, semua orang mengetahuinya dengan akal mereka, seperti kewajiban membayar bagi pembeli, kewajiban penjual menyerahkan barang kepada pembeli, pengharaman mengurangi timbangan dan takaran, kewajiban jujur dan menjelaskan keadaan barangnya, pengharaman dusta, khianat dan bohong, balasan utang adalah penunaiannya (pada temponya), serta pujian.
Ada juga yang tidak jelas dan dijelaskan syariat kita-–ahli islam–, karena seluruh muamalah yang dilarang oleh al-Quran dan as-Sunnah kembali kepada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim.”
Oleh karena itu, syariat melarang riba karena berisi kezaliman dan ketidakadilan, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. al-Baqarah: 275)
Demikian juga, Allah melarang perjudian, karena termasuk memakan harta orang lain dengan batil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Maidah: 90)
Bahkan, seluruh muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah karena di dalamnya terdapat kezaliman dan untuk merealisasikan keadilan. Demikian juga, syariat memperhatikan kemaslahatan kedua pihak transaktor dengan mensyariatkan beberapa aturan, seperti khiyar majelis (hak pilih di majelis), ini disyariatkan untuk mewujudkan keadilan dan memperhatikan kemaslahatan dua pihak transaktor. Dasar aturan ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعًا أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ
“Apabila dua orang berjual-beli, maka setiap orang memiliki hak pilih selama belum berpisah dan keduanya bersepakat, atau (bila) salah satunya memberikan pilihan kepada yang lainnya lalu terjadi jual-beli atas hal itu, maka wajib terjadi jual-beli. (Dan) bila telah berpisah setelah akad jual-beli dan tidak ada yang menggagalkannya, maka wajib jual-belinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Syariat menetapkan khiyar majelis dalam jual-beli untuk hikmah dan maslahat kedua transaktor, serta untuk mendapatkan kesempurnaan ridha yang Allah syariatkan dalam firman-Nya Azza wa Jalla,
عن تراضٍ منكم
Akad transaksi terkadang ada dengan mendadak tanpa diteliti secara seksama dalam nilainya. Oleh karena itu, keindahan syariat islam yang sempurna menjadikan akad berjangka waktu untuk kedua transaktor mencermati dan meneliti setiap orang mengetahui keadaan secara utuh.
Di Antara Aplikasi Larangan Zalim dalam Muamalah:
1. Al-ghisy (penipuan).
2. An-najasy. An-najasy didefinisikan sebagai tambahan pada harga satu barang dagangan dari orang yang tidak ingin membelinya agar orang lain terjebak padanya. Seseorang yang tidak ingin membeli barang, datang dan meninggikan harga barang agar pembeli mengikutinya, lalu menyangka bahwa ia tidak meninggikan harta barang tersebut kecuali memang pantas, sehingga ia terpedaya dengannya. Jual-beli ini diharamkan karena berisi kezaliman. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar yang berbunyi,
أَنَّ النَّبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ₎₎ نَهَى عَنْ النَّجَش
“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang an-najasy.” (Hr. al-Bukhari dan Muslim)
Bahkan para ulama sepakat mengharamkannya.
3. Jual-beli atas jual-beli saudaranya (بيع الرجل على بيع أخيه وشراؤه على شرائه) yang dilarang dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Tas’ir (price-fixing), yaitu Intervensi otoritas dalam pengendalian dan pematokan harga (price-fixing). Hal ini dengan memaksa transaksi jual-beli dengan harga tertentu dan tidak boleh dilanggar.
Pada asalnya, muamalah ini dilarang dengan kesepakatan ahli fikih yang berdasarkan pada dalil-dalil dibawah ini:
Firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’: 29)
Tas’ir ini tidak dapat mewujudkan taradhi (saling ridha).
Dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadits dari Anas bin Malik yang berbunyi,
غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ
“Harga-harga barang mahal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, patoklah harga untuk kami! Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta Maha Pemberi Rezeki, dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta.’ “ (Hr. Abu Daud)
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan price-fixing karena berisi kezaliman.
Demikianlah, hukum asal price-fixing adalah haram, namun para ulama mengecualikannya dalam beberapa keadaan, di antaranya:
a. Kebutuhan manusia terhadap barang tersebut.
b. Adanya ihtikaar (penimbunan) oleh produsen atau pedagang.
c. Penjualan terbatas milik sekelompok orang saja.
Bahkan, ada juga tas’ir yang diwajibkan karena ketiga hal di atas.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Sesungguhnya, apabila waliyul umur (pemerintah/pihak otoritas) memaksa para pengusaha industri (ahli ash-shina’at) untuk memenuhi kebutuhan manusia (rakyat) berupa hasil produksi, seperti alat pertanian, alat jahit, dan alat bangunan, maka pihak otoritas harus menentukan gaji umum/harga umum, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi pengguna (konsumen) untuk mengurangi biaya produksi, dan tidak memberikan kesempatan kepada pihak pabrik dari tuntutan lebih banyak dari hal itu, pada keadaan ia harus menjadi pembuatnya. Ini termasuk tas’ir yang wajib. Demikian juga, apabila manusia (orang-orang) membutuhkan orang yang membuatkan (memproduksi) alat-alat jihad (berupa senjata, jembatan untuk perang, dan selainnya) untuk mereka, maka para pekerja tersebut diberikan upah pekerja pada umumnya. Tidak memberikan kesempatan para konsumen untuk menzalimi mereka dan para pekerja dari tuntutan melebihi hak mereka dengan sebab kebutuhan orang atas mereka. Ini termasuk tas’ir dalam pekerjaan.
Beliau juga menyatakan, “Al-muhtakir (penimbun barang) yang menjadi sandaran dalam penjualan kebutuhan orang banyak berupa bahan makanan, lalu menimbun barang tersebut dan ingin menaikkan harganya telah menzalimi para pembeli/konsumen (dengan melakukan hal tersebut). Oleh karena itu, pihak otoritas memaksa mereka untuk menjual barang yang dimilikinya dengan harga umum ketika orang banyak memiliki kebutuhan yang sangat mendesak terhadap barang tersebut.
Lebih lanjut, Syekhul Islam menyatakan, “Terlebih lagi bila orang-orang berkomitmen untuk tidak menjual bahan makanan atau selainnya kecuali kepada individu tertentu saja, tidak menjual barang kecuali kepada mereka saja, kemudian mereka ini menjualnya secara monopoli, sehingga bila ada selain mereka menjualnya maka dilarang, secara zalim karena kedudukan yang diambil dari penjual atau lainnya. Oleh sebab itu, dalam kondisi ini tas’ir (price-fixing) wajib dilakukan pada mereka, yaitu mereka tidak boleh menjual barang-barang tersebut kecuali dengan harga umum yang ditentukan dan (mereka pun) tidak membeli harta manusia kecuali dengan harga umum. Hal ini wajib tanpa ada kebimbangan sama sekali pada para ulama apabila orang lain dilarang menjual jenis tersebut atau membelinya. Seandainya mereka diperbolehkan menjual sesuka hati mereka, maka dalam hal tersebut terdapat kezaliman dari dua sisi:
a. Kezaliman kepada para penjual (yang diinginkan oleh individu yang hendak memonopoli tadi agar menjual barangnya).
b. Kezaliman terhadap pembeli (yang akan membeli barang dari individu yang hendak memonopoli).
Demikian contoh aplikasi kaidah larangan zalim dalam muamalah.
===============
4. Larangan al-Gharar
(مَنْعُ الْغَرَرِ)
Definisi al-Gharar
Kata ”al-gharar“ dalam bahasa Arab adalah isim mashdar dari kata (غرر) yang berkisar pengertiannya pada kekurangan, pertaruhan (al-khathr) , serta menjerumuskan diri dalam kehancuran dan ketidakjelasan.
Adapun dalam terminologi syariat, pendapat para ulama dalam hal ini hampir sama. Di antaranya adalah:
1. Imam as-Sahkhasi rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang terselubung (tidak jelas) hasilnya”.
2. Imam asy-Syairazi rahimahullahu menyatakan, ” Al-Gharar adalah yang terselubung dan tidak jelas hasilnya”
3. Abu Ya’la rahimahullahu mendefinisikannya dengan sesuatu yang berada antara dua perkara yang tidak jelas hasilnya.
4. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Al-Gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (Majhul al-‘Aqibah)”.
5. Sedangkan menurut Syekh as-Sa’di rahimahullahu, Al-Gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Hal ini masuk dalam perjudian.
Dari sini dapat diambil pengertian bahwa “jual-beli al-gharar adalah semua jual-beli yang mengandung ketidakjelasan atau pertaruhan atau perjudian; atau semua yang tidak diketahui hasilnya atau tidak diketahui hakikat dan ukurannya.”
Ketentuan Dasar Al-Gharar yang Dilarang dalam Muamalah
Kaidah ini merupakan kaidah yang telah disepakati para ulama dalam muamalah.
Mengenal kaidah Al-Gharar sangat penting dalam muamalah, karena banyak permasalahan muamalah yang bersumber dari ketidakjelasan dan ada unsur taruhan di dalamnya. Oleh karena itu Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan, “Adapun larangan jual-beli al-Gharar, maka ia merupakan pokok penting dari kitab jual-beli. Oleh karena itu, Imam Muslim rahimahullahu mengedepankannya. Dalam hal ini tercakup permasalahan yang sangat banyak, tidak terhitung.”
Demikianlah, al-Gharar menjadi salah satu pokok syariat dalam masalah muamalah baik jual-beli ataupun seluruh hukum-hukum mu’awadhah (barter).
Kaidah ini didasari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli al-gharar.” (Hr. Muslim)
Banyak permasalahan yang masuk dalam kaidah ini, di antaranya larangan jual-beli habalatul habalah (بيع حبلة الحبلة ), al-malaaqih (بيع الملاقيح), al-mudhamin (بيع المضامين), jual-beli buah-buahan sebelum tampak kepastian buahnya (بيع الثمار قبل بدو صلاحها), jual-beli mulamasah (بيع الملامسة), jual-beli munabadzah (بيع المنابذة), dan sejenisnya dari jual-beli yang terdapat gharar di dalamnya, yang tidak jelas hasilnya berkisar antara untung dan ‘buntung’, baik gharar-nya terdapat pada akad transaksi, pembayaran, atau tempo pembayaran.
Di antara hal yang harus diperhatikan dalam mengenal al-gharar yang terlarang adalah tidak boleh memahami larangan syariat Islam terhadap al-gharar secara mutlak yang telah ditunjukkan oleh lafal larangan tersebut. Namun, harus melihat dan meneliti maksud syariat dalam larangan tersebut, karena hal tersebut dapat menutup pintu keleluasaan jual-beli dan itu tentunya bukan tujuan syariat, sebab hampir semua bentuk muamalah tidak lepas dari al-gharar.
Oleh karena itu, para ulama memberikan syarat bagi al-gharar yang terlarang sebagai berikut:
1. Gharar-nya besar dan dominan pada akad transaksi(أَنْ يَكُوْنَ الْغَرَرُ كَثِيْراًَ غَالِباًَ عَلَى الْعَقْدِ)
Dengan demikian, gharar yang sepele (sedikit) diperbolehkan dan tidak merusak keabsahan akad. Ini perkara yang telah disepakati para ulama, sebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (2/155) dan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (9/258). Para ulama memberikan contoh dengan masuk ke kamar mandi umum untuk mandi dengan membayar. Ini mengandung gharar, karena orang berbeda dalam penggunaan air dan lamanya tinggal di dalam. Demikian juga, persewaan (rental) mobil untuk sehari atau dua hari, karena orang berbeda-beda dalam penggunaannya dan cara pemakaiannya. Ini semua mengandung gharar, namun dimaafkan syariat, karena gharar-nya tidak besar.
2. Kebutuhan umum tidak membutuhkannya (أَلاَ تَدْعُو الْحَاجَةُ إِلَى هَذَا الْغَرَرِ حَاجَةً عَامَةً)
Kebutuhan umum (الْحَاجَةُ الْعَامَةُ) dapat disejajarkan dengan darurat.
Al-Juwaini rahimahullahu menyatakan,
الحَاجَةُ فِيْ حَقِّ النَّاسِ كَافَةً تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةَ
“Kebutuhan pada hak manusia secara umum disejajarkan dengan darurat). Batasannya adalah semua hal yang seandainya tidak dilakukan orang, maka mereka akan merugi pada saat itu atau di kemudian hari.”
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan,
وَالشَّارِعُ لاَ يُحَرِّمُ مَا يَحْتَاجُ النَّاسُ إِلَيْهِ مِنَ الْبَيْعِ لأَجْلِ نَوْعٍ مِنَ الْغَرَرِ بَلْ يُبِيْحُ مَا يَحْتَاجُ إِلَيْهِ النَّاسُ مِنْ ذَلِكَ.
“Syariat tidak mengharamkan jual-beli yang dibutuhkan manusia hanya karena ada sejenis gharar. Bahkan. Syariat memperbolehkan semua hal yang dibutuhkan manusia dari hal itu.”
Kaidah yang disampaikan para ulama ini, harus terwujudkan kebutuhan tersebut secara pasti dan tidak ada solusi syar’i lainnya. Apabila kebutuhan ini telah menjadi kebutuhan umum, maka disejajarkan dengan darurat.
Dasarnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kemudahan menjual buah dari pohon kurma setelah tampak menjadi buah, lalu dibiarkan hingga sempurna kematangannya, walaupun sebagiannya belum ada. Hal ini menunjukkan kebolehan gharar karena hajat umum . Dengan demikian diambil kesimpulan dari hadits ini, bahwa apabila telah tampak menjadi buah seperti berwarna merah pada al-busr (kurma muda) atau menguning, maka jual-belinya sah, padahal sebagian dari buah-buah tersebut belum ada. Ini jelas gharar. Meskipun demikian, syariat memperbolehkannya karena kebutuhan umum.
3. Mungkin menghindarinya tanpa susah payah (أن يمكن التحرز من الغرر بلا حرج ولا مشقة)
Imam Nawawi dalam al-Majmu’ (9/258) dan Ibnul Qayyim dalam Zaad al-Ma’ad (5/820) menukilkan adanya ijma’ bahwa gharar yang tidak mungkin dihindari, kecuali dengan susah payah, maka diperbolehkan.
Para ulama mencontohkannya dengan pondasi rumah serta bangunan, dan isi kandungan hewan yang hamil. Seseorang membeli rumah dalam keadaan tidak mengetahui keadaan pondasi dan tiang-tiangnya, serta bagaimana proses finishing pembangunannya. Juga isi kandungan hewan yang hamil, apakah kandungannya jantan atau betina, berbilang atau hanya seekor, dan apakah hidup atau mati. Ini jelas gharar, namun diperbolehkan karena hal seperti ini tidak dapat diketahui jelas. Seandainya dipaksa mengetahuinya tentulah harus dengan sangat susah payah.
Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya. Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina. Juga apakah lahir sempurna atau cacat. Demikian juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Semua ini diperbolehkan menurut ijma’. Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….”
Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka keberadaan gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, isi perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian umum) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Karenanya, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak, yang mungkin dapat dilepas darinya.”
4. Gharar yang dilarang hanya pada akad mu’awadhah (أن يكون الغرر المنهي عنه في عقود المعاوضات)
Inilah pendapat imam Malik rahimahullahu dan dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Adapun kewajiban larangan ghoror pada akad tabarru’at (التبرعات) seperti shadaqah, hibah, dan sejenisnya masih diperdebatkan dalam dua pendapat, setelah mereka (para ulama –ed) sepakat tentang tidak adanya larangan gharar pada al-washiyat.
a. Diperbolehkan adanya gharar dalam akad tabarru’at,
Inilah pendapat mazhab Malikiyah, serta dirajihkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim . Mereka berdalil dengan hadits Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya yang berbunyi,
فَقَامَ رَجُلٌ فِي يَدِهِ كُبَّةٌ مِنْ شَعْرٍ فَقَالَ أَخَذْتُ هَذِهِ لِأُصْلِحَ بِهَا بَرْذَعَةً لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا مَا كَانَ لِي وَلِبَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَهُوَ لَكَ
“Maka ada seseorang yang membawa sekumpulan bulu rambut (seperti wig) berdiri di tangannya, lalu berkata, ‘Aku mengambil ini untuk memperbaiki pelana kudaku’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun yang menjadi hakku dan bani Abdil Muthalib, maka itu untukmu.” (Hr. Abu Dawud dan dinilai hasan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 5/36–37)
Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan bagiannya dan bagian Bani Abdil Muthallib dari benda tersebut, dan tentunya ukurannya tidak jelas. Dengan demikian gharar tersebut tidak berlaku pada akad tabarru’at.
Pendapat ini dikuatkan dengan “kaidah asal dalam muamalah adalah sah”, baik dalam akad mu’awadhah ataupun tabaru’at. Asal hukum ini tidak berubah dengan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gharar dalam hadits Abu Hurairah terdahulu, karena itu menyangkut akad muawadhah saja. Apalagi perbedaan antara akad mu’awadhah dengan tabarru’at telah jelas. Akad mu’awadhah dilakukan oleh seseorang yang ingin melakukan usaha dan perniagaan, sehingga disyaratkan pengetahuan dan kejelasan yang tidak disyaratkan dalam akad tabarru’at. Hal ini terjadi, karena akad tabarru’at yang dilakukan oleh seseorang, tidaklah untuk usaha, namun untuk berbuat baik dan menolong orang lain.
b. Gharar berlaku juga pada akad tabarru’at; inilah pendapat mayoritas ulama.
Namun yang rajih adalah pendapat yang pertama.
Berdasarkan hal ini, maka muncullah banyak masalah yang disampaikan ulama, di antaranya:
Pemberian majhul. Bentuk gambarannya adalah, seorang menghadiahkan sebuah mobil yang belum diketahui jenis, merek dan bentuknya, atau memberi sesuatu yang ada di kantongnya. Ia berkata, “Saya hadiahkan uang yang ada di kantong saya kepadamu.” Pertanyaannya, apakah ini akad transaksi yang shahih atau tidak? Yang rajih adalah akad pemberian ini sah, sebab tidak disyaratkan hadiahnya harus jelas.
Demikian juga, seandainya ia menghadiahkan sesuatu miliknya yang telah dicuri atau dirampok, maka hukumnya sah. Juga, menghadiahkan barang-barang yang hilang atau budak yang kabur.
Dengan demikian jelas, bahwa permasalahan akad tabarru’at lebih luas dari permasalahan akad mu’awadhah.
5. Gharar terdapat pada asal, bukan sampingan (taabi’)
Gharar yang ikut kepada asal adalah gharar yang dimaafkan, karena terdapat kaidah bahwa sesuatu itu diperbolehkan apabila terikutkan dengan sesuatu yang lain, sedangkan dia menjadi tidak boleh bila ia terpisahkan darinya (hanya berdiri sendiri).
(يُغْتَفَرُ فِيْ شَيْئٍ إِذَا كَانَ تَابِعًا مَالاَ يُغْتَفَرُ إِذَا كَانَ أَصلاًَ)
Dalilnya adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
مَنْ اِبْتَاعَ نَخْلاً بَعْدَ أَنْ تُؤَبَّرَ فَثَمَرَتُهَا لِلْبَائِعِ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ وَمَنْ ابْتَاعَ عَبْدًا وَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ إِلَّا أَنْ يَشْتَرِطَ الْمُبْتَاعُ
“Barangsiapa yang membeli pohon kurma setelah dikawinkan, maka buahnya milik penjual, kecuali pembeli mensyaratkannya, dan barangsiapa yang membeli hamba (budak -ed) dan hamba (budak –ed) itu memiliki harta, maka hartanya milik pihak yang menjualnya, kecuali pembeli budak tersebut mensyaratkannya (mensyaratkan untuk juga memiliki harta si budaj setelah dia membeli budak tersebut -ed).“ (Hr. al-Bukhari)
Dalam hadits ini pembeli diperbolehkan mengambil hasil talqih tersebut, apabila talqih tersebut ada setelah pembeli mensyaratkannya.
Padahal, hasilnya (buahnya) belum ada atau belum dapat dipastikan keberadaannya.
(بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam menjelaskan dasar kaidah ini menyatakan, “Nabi memperbolehkan bila seorang menjual pohon kurma yang telah dikawinkan (talqih) untuk pembeli yang mensyaratkan (untuk juga mengambil) buahnya. Sehingga, ia telah membeli buah sebelum waktu baiknya. Namun, itu diperbolehkan karena (buahnya) terikut, bukan asal. Sehingga jelaslah, gharar yang kecil diperbolehkan apabila terikutkan (dengan sesuatu yang lain), yang (ini tentu) tidak boleh bila selain dari keadaan ini.”
Demikianlah beberapa kaidah dalam gharar yang dilarang syariat.
Aplikasi Kaidah al-Gharar
Di antara contoh muamalah yang memiliki gharar yang terlarang adalah:
1. Jual-beli al-hashah (بيع الحصاة)
Larangannya berdasar pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhua dalam Shahih Muslim yang berbunyi,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
Dari Abu Hurairah-–semoga Allah meridhainya–, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli al-hashah dan jual-beli gharar.”
Para ulama rahimahumullah memberikan contoh jual-beli ini:
Seseorang memberi batu kepada temannya dan menyatakan, “Lemparlah batu ini pada tanahku! Sejauh mana lemparan batu tersebut dari tanah, maka tanah tersebut menjadi milikmu, dengan pembayaran sekian dirham darimu.” Apabila lemparannya kuat, maka pembeli beruntung dan penjual merugi. Bila lemparannya lemah, maka sebaliknya (si pembeli rugi dan si penjual yang untung).
2. Jual-beli mulamasah dan munabadzah (الملامسة والمنابذة)
Jual-beli mulamasah dan munabadzah adalah jual-beli yang dilarang pada hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahihain (kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) yang berbunyi,
أن النبي صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُلَامَسَةِ وَالْمُنَابَذَة
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli mulamasah dan munabadzah.”
Jual-beli mulamasah adalah jual-beli dengan bentuk seorang menyatakan kepada temannya, “Pakaian apa pun yang sudah kamu pegang, maka ia milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.” Oleh karena itu, bila ia memegang pakaian yang mahal, maka ia beruntung dan bila ia memegang pakaian yang murahan, maka ia merugi.
Adapun jual-beli munabadzah terjadi dengan menyatakan, “Ambil batu ini, lalu lemparkan kepada pakaian-pakaian tersebut! Pakaian yang terkena lemparan tersebut akan menjadi milikmu dengan pembayaran sekian rupiah darimu.”
3. Jual-beli calon anak dari janin yang dikandung (بيع حبل الحبلة)
Larangannya terdapat dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَل الحَبَلة
“Sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli calon anak dari janin yang dikandung.”
Jual-beli habalul habalah yang merupakan menjual hasil produksi yang masih belum jelas termasuk jual-beli yang populer di masa jahiliyah. Mereka terbiasa menjual anak hewan yang masih dalam kandungan binatang yang bunting, dan menyerahkannya secara tertunda. Maka Islam melarangnya. Letak unsur gharar dalam jual-beli habalul habalah ini jelas sekali. Kalau tujuannya adalah menjual janin yang masih dalam perut induk unta, maka janin itu jelas belum jelas keberadaannya. Pembelinya berada dalam posisi yang mengkhawatirkan, karena ia bisa memperoleh barang yang dia beli, dan bisa juga tidak.
Kalau yang menjadi tujuannya adalah menjual dengan pembayaran di muka hingga lahirnya anak unta tersebut, unsur penjualan “kucing dalam karung”-nya pun amat jelas, karena sama saja menjual sesuatu dengan masa pembayaran yang tidak diketahui. Di dalam jual-beli ini tidak diketahui secara pasti, kapan unta tersebut akan lahir.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang jual-beli habalul habalah, yakni sejenis jual-beli yang biasa dilakukan masyarakat jahiliyah. Pada jual beli tersebut, seseorang membeli seekor unta hingga melahirkan anak unta, kemudian anak dalam kandungan unta tersebut juga lahir pula (secara berantai).
4. Jual-beli buah sebelum tampak kepantasannya untuk layak dikonsumsi ( بَيْعُ الثِّمَارِ قَبْلََ بُدُوِ صَلاَحِهَا)
Jual-beli ini terlarang dalam hadits yang berbunyi,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli buah-buahan hingga tampak kepastiannya menjadi buah (layak dikonsumsi).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hal tersebut disebabkan adanya kemungkinan rusak dan gagalnya hasil panen buah tersebut sebelum pembeli dapat memanfaatkannya.
5. Asuransi
Asuransi (ta’min) adalah satu transaksi yang tidak pernah ada di zaman dahulu. Asuransi didefinisikan sebagai sebuah sistem untuk merendahkan kehilangan finansial dengan menyalurkan risiko kehilangan dari seseorang atau badan ke lainnya.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang usaha, perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ahli fikih kontemporer bersilang pendapat dalam permasalahan ini. Ada yang memperbolehkan, dan ini sedikit jumlahnya. Mereka menyatakan bahwa yang dikeluarkan seseorang itu kecil sekali dibandingkan dengan yang akan didapatkannya, dan itu berarti al-gharar yang kecil. Namun bila dilihat pada jumlah orang yang ikut serta, dan keuntungan yang didapat perusahaan perasuransian, gharar yang terdapat dalam transaksi ini jelas besar sekali. Demikianlah, para ahli fikih melihat sesuatu itu bukan kepada seorang individu manusia saja, namun kepada perlindungan seluruh manusia, karena keberadaan syariat adalah untuk menjaga harta manusia. Oleh karena itu, Lajnah Daimah lil uhuts al-‘Ilmiyah wal-Ifta (Komite Tetap dalam Riset Ilmiyah dan Fatwa Negara Saudi Arabia) dalam ketetapan no. 55 tanggal 4/4/1397 H menetapkan ketidakbolehan asuransi seperti ini, karena termasuk akad pertukaran harta yang mengandung gharar besar dan termasuk jenis al-qimar (perjudian).
Hikmah Larangan Gharar
Hikmah dilarangnya jual-beli kamuflatif atau yang mengandung unsur “menjual kucing dalam karung” adalah karena jual-beli tersebut mengakibatkan seseorang memakan harta orang lain dengan cara haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal itu dalam sabda beliau tentang larangan menjual buah-buahan yang belum layak dikonsumsi atau belum tumbuh,
“Tidakkah kalian berpikir, kalau Allah tidak mengijinkan buah itu untuk tumbuh, dengan alasan apa si penjual memakan harta pembelinya?”
Jenis-jenis Gharar
Bila ditinjau pada terjadinya jual-beli, gharar terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Jual-beli barang yang belum ada (ma’dum), seperti jual-beli habal al-habalah (jual-beli tahunan), yakni menjual buah-buahan dalam transaksi selama sekian tahun. Buah-buahan tersebut belum ada, atau menjual buah yang belum tumbuh sempurna (belum layak dikonsumsi).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual-beli dengan sistem kontrak tahunan, yakni membeli (hasil) pohon selama beberapa tahun, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالْمُعَاوَمَةِ وَالْمُخَابَرَةِ قَالَ أَحَدُهُمَا بَيْعُ السِّنِينَ هِيَ الْمُعَاوَمَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli muhaqalah, muzabanah, mu’awamah, dan mukhabarah. Salah seorang dari keduanya menyatakan, ‘Jual-beli dengan sistem kontrak tahunan adalah mu’awamah.’ ” (Hr. Muslim)
Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan,
كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَبَايَعُونَ الثِّمَارَ فَإِذَا جَدَّ النَّاسُ وَحَضَرَ تَقَاضِيهِمْ قَالَ الْمُبْتَاعُ إِنَّهُ أَصَابَ الثَّمَرَ الدُّمَانُ أَصَابَهُ مُرَاضٌ أَصَابَهُ قُشَامٌ عَاهَاتٌ يَحْتَجُّونَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا كَثُرَتْ عِنْدَهُ الْخُصُومَةُ فِي ذَلِكَ فَإِمَّا لَا فَلَا تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلَاحُ الثَّمَرِ
“Masyarakat di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan jual-beli buah-buahan. Kalau datang masa panen dan datang para pembeli yang telah membayar buah-buahan itu, para petani berkata, ‘Tanaman kami terkena diman , terkena penyakit, terkena qusyam , dan berbagai hama lain.’ Maka, ketika mendengar berbagai polemik yang terjadi dalam hal itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bila tidak, jangan kalian menjualnya sebelum buah-buahan itu layak dikonsumsi (tampak kepantasannya).
Demikianlah, dengan melarang jual-beli ini, Islam memutus kemungkinan terjadinya kerusakan dan pertikaian. Dengan cara itu pula, Islam memutuskan berbagai faktor yang dapat menjerumuskan umat ini ke dalam kebencian dan permusuhan dalam kasus jual-beli tersebut.
2. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul)
- Mutlak, seperti pernyataan seseorang, “Saya jual barang ini dengan harga seribu rupiah”, padahal barangnya tidak diketahui secara jelas; atau
- Jenisnya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual mobilku kepadamu dengan harga sepuluh juta,” namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas; atau
- Tidak jelas ukurannya, seperti ucapan seseorang, “Aku jual kepadamu tanah seharga lima puluh juta,” namun ukuran tanahnya tidak diketahui.
Kesimpulannya:
Bisa jadi, objek penjualan itu tidak diketahui secara mutlak, seperti bila seorang penjual mengatakan, “Saya jual sebuah mobil kepada Anda.” Bisa juga, sesuatu yang tidak diketahui namun tertentu jenis atau ukurannya, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual seluruh isi rumah saya kepada Anda,” atau, “Saya jual kepada Anda seluruh buku-buku perpustakaan saya,” dan sejenisnya.
Atau bisa juga sesuatu yang tidak diketahui macam dan kriterianya, namun jenis dan ukurannya diketahui, seperti yang dikatakan seorang penjual, “Saya jual kepada Anda pakaian yang ada dalam buntelan kainku,” atau, “Saya jual kepada Anda budak milik saya.”
3. Jual-beli barang yang tidak mampu diserahterimakan
Seperti jual-beli budak yang kabur atau jual-beli mobil yang dicuri. Ketidakjelasan ini juga terjadi pada harga, barang, dan pada akad jual-belinya. Ketidakjelasan pada harga dapat terjadi pada jumlahnya, seperti segenggam dinar. Sedangkan, ketidakjelasan pada barang– seperti dijelaskan di atas–dan ketidakjelasan pada akad, seperti menjual dengan harga sepuluh rupiah bila kontan dan dua puluh rupiah bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai pembayarannya.
Seperti juga jual-beli unta yang sudah hilang, ikan yang ada dalam air, dan burung yang terbang di langit. Bentuk penjualan ini ada yang dipastikan haram dan ada juga yang masih diperdebatkan. Di antara yang masih diperdebatkan adalah menjual barang jualan sebelum berada di tangan.
Syekh as-Sa’di rahimahullahu menyatakan, “Kesimpulan jual-beli gharar kembali kepada jual-beli ma’dum, seperti habal al-habalah dan as-sinin, atau kepada jual-beli yang tidak dapat diserahterimakan, seperti budak yang kabur dan sejenisnya, atau kepada ketidakjelasan–baik mutlak pada barangnya atau jenisnya atau sifatnya–.”
Gharar yang Diperbolehkan
Menurut hukumnya, jual-beli yang mengandung unsur gharar ada tiga macam, yaitu:
1. Yang disepakati larangannya dalam jual-beli, seperti jual-beli yang belum ada wujudnya (ma’dum).
2. Disepakati kebolehannya, seperti jual-beli rumah dengan pondasinya, padahal jenis dan ukuran serta hakikat sebenarnya (dari pondasi rumah tersebut) tidak diketahui.
Hal ini diperbolehkan karena kebutuhan dan tidak mungkin lepas darinya. Imam an-Nawawi rahimahullahu menyatakan, “Pada asalnya, jual-beli gharar dilarang dengan dasar hadits ini, dan maksudnya adalah yang mengandung unsur gharar yang jelas dan mungkin dilepas darinya.
Adapun hal-hal yang dibutuhkan dan tidak mungkin dipisahkan darinya, seperti pondasi rumah, membeli hewan yang mengandung–dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih dan jantan atau betina, apakah lahir sempurna atau cacat–, termasuk juga membeli kambing yang memiliki air susu dan sejenisnya. Seluruh hal tersebut diperbolehkan menurut ijma’.
Demikian juga, para ulama menukilkan ijma’ tentang kebolehan barang-barang yang mengandung gharar yang sepele, di antaranya: umat ini sepakat mengesahkan jual-beli baju jubah mahsyuwah….
Ibnul Qayyim rahimahullahu pun menyatakan, “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Apabila sepele (sedikit) atau tidak mungkin dipisahkan darinya, maka gharar tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual-beli, karena gharar (ketidakjelasan) yang ada pada pondasi rumah, dalam perut hewan yang mengandung, atau buah terakhir yang tampak menjadi bagus sebagiannya saja, tidak mungkin dapat lepas darinya. Demikian juga, gharar yang ada dalam hammam (pemandian) dan minuman dari bejana dan sejenisnya adalah gharar yang sepele. Dengan demikian, keduanya tidak mencegah jual-beli. Hal ini tentunya tidak sama dengan gharar yang banyak yang mungkin dapat dilepas darinya.”
Dalam kitab lainnya, beliau menyatakan, “Terkadang sebagian gharar dapat disahkan, apabila hajat menuntutnya, seperti ketidaktahuan akan mutu pondasi rumah, serta membeli kambing hamil dan masih memiliki air susu. Hal ini disebabkan karena pondasi rumah ikut dengan rumah, dan karena hajat menuntutnya, lalu tidak mungkin melihatnya.”
Dari sini dapat disimpulkan bahwa gharar yang diperbolehkan adalah gharar yang sepele atau gharar-nya tidak sepele, namun jika gharar tersebut dilepaskan maka akan terjadi kesulitan. Oleh karena itu, Imam Nawawi rahimahullahu menjelaskan kebolehan jual-beli yang mengandung gharar, apabila ada hajat untuk melanggar gharar dan jika gharar tersebut tidak dilakukan maka akan timbul kesulitan, atau gharar-nya sepele.
3. Yang masih diperselisihkan, apakah diikutkan pada bagian yang pertama atau kedua.
Misalnya: menjual sesuatu yang diinginkan tetapi masih terpendam di dalam tanah (seperti: wortel, kacang tanah, bawang, dan lain-lainnya). Para ulama sepakat tentang keberadaan gharar dalam jual-beli tersebut, namun para ulama masih berbeda pendapat dalam menghukuminya. Perbedaan mereka ini terjadi karena sebagian dari mereka, di antaranya Imam Malik rahimahullahu, memandang bahwa gharar-nya sepele atau tidak mungkin dilepas darinya dengan adanya kebutuhan menjual, sehingga ulama-ulama tersebut memperbolehkan gharar semacam ini. Adapun sebagian ulama yang lainnya, di antaranya Imam Syafi’i dan Abu Hanifah rahimahumallah, memandang bahwa gharar-nya besar dan memungkinkan untuk dilepas darinya, sehingga para ulama ini mengharamkan gharar tersebut.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkan pendapat yang memperbolehkan gharar dalam hal ini.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahuh menyatakan, “Adapun Imam Malik, maka mazhabnya adalah mazhab terbaik dalam permasalahan ini. Menurut mazhab Imam Malik, hal-hal ini, semua hal yang dibutuhkan, atau hal-hal yang mengandung sedikit gharar, boleh diperjual-belikan… hingga (mazhab Imam Malik pun) memperbolehkan jual-beli benda-benda yang tidak tampak di permukaan tanah seperti wortel, lobak dan sebagainya.’
Sedangkan Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Jual-beli yang tidak tampak di permukaan tanah, tidak memiliki dua perkara tersebut, karena gharar-nya sepele (kecil) dan tidak mungkin dilepas darinya.”
Dengan demikian, jelaslah, tidak semua jual-beli yang mengandung unsur gharar dilarang. Hal ini membuat kita harus lebih mengenal kembali pandangan para ulama seputar permasalahan ini, dengan memahami kaidah-kaidah dasar yang telah dijelaskan.
============
5. Larangan Riba
Diharamkannya riba berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul serta ijma’ para ulama. Bahkan, bisa dikatakan bahwa keharamannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam ini. Di antara dalil dari Kitabullah tentang keharaman riba, yaitu:
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ275 يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ 276 إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ 277 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 278 فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ 279
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya. orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, akan mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. al-Baqarah: 275–279)
Ayat-ayat ini adalah ayat-ayat tentang riba yang terakhir diturunkan dalam al-Quran al-Karim.
Al-Quran telah membicarakan riba dalam empat tempat terpisah. Salah satunya adalah ayat Makkiyyah, sementara tiga lainnya adalah ayat-ayat Madaniyyah.
Dalam surat ar-Rum, Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan sesuatu yang kamu berikan, berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).” (Qs. ar-Rum: 39)
Ayat tersebut tidak mengandung ketetapan hukum pasti tentang haramnya riba, karena kala itu riba memang belum diharamkan. Riba baru diharamkan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di kota Al-Madinah. Ini untuk mempersiapkan jiwa kaum muslimin agar mampu menerima hukum keharaman riba yang terlanjur membudaya kala itu.
Dalam surat an-Nisa`, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ كَثِيراً 160 وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً 161
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya. Dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan siksa yang pedih untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu.” (Qs. an-Nisa`: 160–161)
Ayat di atas menjelaskan keharaman riba bagi orang-orang Yahudi. Ini merupakan pendahuluan yang amat gambling. Setelah itu, barulah kemudian riba diharamkan bagi kalangan kaum muslimin. Ayat tersebut turun di kota Madinah sebelum orang-orang Yahudi menjelaskannya.
Dalam surat Ali Imran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Ali Imran: 130)
Setelah surat Ali Imran: 140 tersebut turun, barulah kemudian turun beberapa ayat pada akhir surat al-Baqarah—sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya–.
Dalil-dalil dari As-Sunnah yang Mengharamkan Riba
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
Hindarilah tujuh hal yang membinasakan.” Ada yang bertanya, “Apakah tujuh hal itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa dengan cara yang haram, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh wanita suci yang sudah menikah berzina karena kelengahan mereka.”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ رَجُلَيْنِ أَتَيَانِي فَأَخْرَجَانِي إِلَى أَرْضٍ مُقَدَّسَةٍ فَانْطَلَقْنَا حَتَّى أَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ مِنْ دَمٍ فِيهِ رَجُلٌ قَائِمٌ وَعَلَى وَسَطِ النَّهَرِ رَجُلٌ بَيْنَ يَدَيْهِ حِجَارَةٌ فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ الَّذِي فِي النَّهَرِ فَإِذَا أَرَادَ الرَّجُلُ أَنْ يَخْرُجَ رَمَى الرَّجُلُ بِحَجَرٍ فِي فِيهِ فَرَدَّهُ حَيْثُ كَانَ فَجَعَلَ كُلَّمَا جَاءَ لِيَخْرُجَ رَمَى فِي فِيهِ بِحَجَرٍ فَيَرْجِعُ كَمَا كَانَ فَقُلْتُ مَا هَذَا فَقَالَ الَّذِي رَأَيْتَهُ فِي النَّهَرِ آكِلُ الرِّبَا
Tadi malam aku melihat dua orang lelaki, lalu keduanya mengajakku pergi ke sebuah tanah yang disucikan. Kami pun berangkat, sehingga sampai ke satu sungai yang berair darah. Di situ terdapat seorang lelaki sedang berdiri. Di tengah sungai terdapat seorang lelaki lain yang menaruh batu di hadapannya. Ia menghadap ke arah lelaki yang ada di sungai. Kalau lelaki di sungai itu mau keluar, ia melemparnya dengan batu sehingga lelaki itu terpaksa kembali ke dalam sungai darah. Demikianlah seterusnya, setiap kali lelaki itu hendak keluar, lelaki yang di pinggir sungai melempar batu ke mulutnya sehingga ia terpaksa kembali lagi seperti semula. Aku bertanya, ‘Apa ini?’ Salah seorang lelaki yang bersamaku menjawab, ‘Yang engkau lihat dalam sungai darah itu adalah pemakan riba.’
Ijma’ yang Mengharamkan Riba
Seluruh kaum muslimin telah bersepakat bahwa asal dari riba adalah diharamkan, terutama riba pinjaman atau utang. Bahkan, mereka telah berkonsensus dalam hal itu pada setiap masa dan tempat. Para ulama ahli fikih seluruh mazhab telah menukil ijma’ tersebut. Memang, ada perbedaan pendapat tentang sebagian bentuk aplikasinya, apakah termasuk riba atau tidak dari segi praktisnya, namun perbedaan pendapat ini tidak bertentangan dengan asal ijma’ yang telah diputuskan dalam persoalan itu.
Ijma’ tentang pengharamannya dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijma’, hlm. 103 ; Ibnu Rusyd dalam al-Muqaddimah wal Mumahadah: 2/8, al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir: 5/74, an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzab: 9/391, dan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al fatawa: 29/419.
Balasan Pemakan Riba
Imam al-Sarkhosi menyampaikan 5 balasan dan hukuman bagi pemakan riba dalam ayat-ayat ini (surat al-Baqarah: 275–279), yaitu:
1. Kesurupan, seperti dalam firman Allah Ta’ala,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275)
2. Dihapus (berkahnya), seperti dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا
“Allah memusnahkan riba….” (Qs. al-Baqarah: 276)
3. Kufur, bagi yang menghalalkannya. Hal tersebut dijelaskan dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
يَمْحَقُ اللّهُ الْرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Qs. al-Baqarah: 276)
4. Kekal di neraka. Hal ini terdapat dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“… Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275)
5. Allah Ta’ala memerangi pemakan riba. Sebagaimana dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ 278 فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ 279
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Qs. al-Baqarah: 278–279)
Definisi Riba
1. Pengertian Secara Bahasa
Kata “riba” berasal dari bahasa Arab, yang artinya “tambahan atau pertumbuhan”. Sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala,
فَعَصَوْا رَسُولَ رَبِّهِمْ فَأَخَذَهُمْ أَخْذَةً رَّابِيَةً
“Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang seperti riba.” (Qs. al-Haqqah: 10)
Yang dimaksud adalah siksa yang bertambah terus.
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاء اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“… Kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah….” (Qs. al-Hajj: 5)
2. Makna Secara Istilah
Menurut terminologi ilmu fikih, para ulama mendefinisikannya dalam beberapa definisi, di antaranya: tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua transaktor tanpa ada imbalan tertentu.
Yang dimaksud dengan “tambahan” secara definitif adalah:
a. Tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yakni penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, kurma, jewawut (gandum merah) dan garam, serta segala komiditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.
Kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, kurma dengan kurma misalnya, harus sama kuantitasnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Setiap tambahan atau kelebihan kuantitas pada salah satu komoditi yang ditukar atau keterlambatan penyerahannya, adalah riba yang diharamkan.
b. Tambahan dalam utang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya, seperti bunga utang.
c. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang diharuskan adanya serah-terima langsung. Kalau emas dijual dengan perak, atau Junaih dengan Dollar misalnya, harus ada serah-terima secara langsung. Setiap penangguhan penyerahan salah satu dari dua barang yang dibarter, adalah riba yang diharamkan.
Sedangkan ulama lain memberikan definisi:
تَفَاضُلٌ فِيْ مُبَادَلَةٍ رِبَوِيٍ بِجِنْسِهِ وَتَأْخِيْرُ الْقَبْضِ فِيْمَا يَجِبُ فِيْهِ الْقَبْضُ
Perbedaan dalam pertukaran ribawi dengan sejenisnya dan pengakhiran serah-terima pada sesuatu yang mengandung serah-terima.
Ada juga yang menyatakan:
الزِّيَادَةُ أَوِ التَّأْخِيْرُ فِيْ أَمْوَالٍ مَخْصُوْصَةٍ
Tambahan atau pengakhiran (tempo) pada harta tertentu.
Sedangkan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mendefinisikannya dengan:
الزِّيَادَةُ فِيْ بَيْعِ شَيْئَيْنِ يَجْرِيْ فِيْهِمَا الرِبَا
Tambahan dalam jual-beli dua komoditi ribawi. Tidak semua tambahan adalah riba menurut syariat .
Jenis Riba
Para ulama membagi riba mejadi dua, yaitu:
1. Riba jahiliyah atau riba al-qard (utang), yaitu pertambahan dalam utang, sebagai imbalan tempo pembayaran (ta’khir), baik disyaratkan ketika jatuh tempo pembayaran atau di awal tempo pembayaran. Inilah riba yang pertama kali diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya,
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba,’ padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya hasil riba yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba) adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Qs. al-Baqarah: 275)
Riba inilah yang dikatakan orang jahiliyah dahulu “إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا”. Riba ini juga yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
وَ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوْعٌ وَ أَوَّلُ رِبَا أَضَعُهُ رِبَأ العَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوْعٌ كُلُّهُ
“Riba jahiliyah dihapus, dan awal riba yang dihapus adalah riba al-Abbas bin Abdil Muthalib, maka sekarang seluruhnya dihapus.” (Hr. Muslim)
Demikianlah, Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya karena berisi kezaliman dan memakan harta orang lain dengan batil, karena tambahan yang diambil orang yang berpiutang dari yang berutang tanpa imbalan.
Beberapa Bentuk Aplikasi Riba di Masa Jahiliyah
Pada masa jahiliyah, riba memiliki beberapa bentuk aplikatif, di antaranya adalah:
Bentuk pertama: riba pinjaman
Yakni, yang direfleksikan dalam satu kaidah di masa jahiliyah: “Tangguhkanlah utangku, aku akan menambahnya.”
Misalnya, seseorang memiliki utang terhadap seseorang. Ketika tiba waktu pembayaran, orang yang berutang itu tidak mampu melunasinya. Akhirnya, ia berkata, “Tangguhkanlah utangku, aku akan memberikan tambahan.” Maksudnya: perlambatlah dan tangguhkanlah masa pembayarannya, aku akan menambah jumlah utang yang akan kubayar. Penambahan itu bisa dengan cara melipatgandakan utang, atau (bila berupa binatang) dengan penambahan umur binatang. Kalau yang diutangkan adalah binatang ternak, seperti unta, sapi, dan kambing, akan dibayar dengan umur yang lebih tua. Kalau berupa barang atau uang, jumlahnya yang ditambah. Demikian seterusnya.
Qatadah menyatakan, “Sesungguhnya, bentuk riba di masa jahiliyah adalah sebagai berikut: Ada seseorang yang menjual barang untuk dibayar secara tertunda. Kalau sudah datang waktu pembayarannya, sementara orang yang berutang itu tidak mampu membayarnya, ia menangguhkan pembayarannya dan menambah jumlahnya.”
Atha’ menuturkan, “Dahulu, Tsaqif pernah berutang uang kepada Bani al-Mughirah pada masa jahiliyah. Ketika datang masa pembayaran, mereka berkata, ‘Kami akan tambahkan jumlah utang yang akan kami bayar, tetapi tolong ditangguhkan pembayarannya.’ Maka turunlah firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (Qs. Ali Imran: 130)”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan dalam I’lamul Muwaqqi’in, “Adapun riba yang jelas adalah riba nasi`ah. Itulah riba yang dilakukan oleh masyarakat Arab di masa jahiliyah, seperti: menangguhkan pembayaran utang namun menambahkan jumlahnya. Setiap kali ditangguhkan, semakin bertambah jumlahnya, sehingga utang seratus dirham menjadi beribu-ribu dirham.”
Imam Ahmad rahimahullahu pernah ditanya tentang riba yang tidak diragukan lagi unsur ribanya. Beliau menjawab, “Ada orang yang memberi utang kepada seseorang, lalu ia berkata, “Anda mau melunasinya, atau menambahkan jumlahnya dengan ditangguhkan lagi?” Kalau orang itu tidak segera melunasinya, maka ia menangguhkan masa pembayarannya dengan menambahkan jumlahnya.”
Bentuk kedua: pinjaman dengan pembayaran tertunda, namun dengan syarat harus dibayar dengan bunganya.
Utang itu dibayar sekaligus pada saat berakhirnya masa pembayaran.
Al-Jashash menyatakan, “Riba yang dikenal dan biasa dilakukan oleh masyarakat Arab adalah berbentuk pinjaman uang dirham atau dinar yang dibayar secara tertunda bersama bunganya, jumlahnya sesuai dengan jumlah utang dan sesuai dengan kesepakatan bersama.” Di lain kesempatan, beliau menjelaskan, “Sudah dimaklumi bahwa riba di masa jahiliyah adalah berbentuk pinjaman berjangka dengan bunga yang ditentukan. Tambahan atau bunga itu adalah kompensasi dari tambahan waktu. Maka, Allah menjelaskan kebatilannya dan mengharamkannya.”
Bentuk ketiga: pinjaman berjangka dan berbunga dengan syarat dibayar per bulan (kredit bulanan)
Fakhruddin ar-Razi menyatakan, “Riba nasi`ah adalah kebiasaan yang sudah dikenal luas dan populer di masa jahiliyah. Yakni, bahwa mereka biasa mengeluarkan uang agar mendapatkan sejumlah uang tertentu pada setiap bulannya, sementara modalnya tetap. Apabila datang waktu pembayaran, mereka meminta kepada orang-orang yang berutang untuk membayar jumlah modalnya. Kalau mereka tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan mereka harus menambah jumlah yang harus dibayar. Inilah riba yang biasa dilakukan di masa jahiliyah.”
Ibnu Hajar al-Haitsami menyatakan, “Riba nasi`ah adalah riba yang populer di masa jahiliyah. Biasanya seseorang meminjamkan uangnya kepada orang lain untuk dibayar secara tertunda, dengan syarat ia mengambil sejumlah uang tertentu tiap bulannya dari orang yang berutang, sementara jumlah piutangnya tetap. Kalau tiba waktu pembayaran, ia menuntut pembayaran uang yang dia utangkan. Kalau dia tidak mampu melunasinya, waktu pembayaran diundur dan ia harus menambah jumlah yang harus dibayar.”
2. Riba jual-beli. Yaitu riba yang terdapat pada penjualan komoditi riba fadhal. Komoditi riba fadhal yang disebutkan dalam nash ada enam: Emas, perak, gandum, kurma, garam dan jewawut.
Demikianlah. Dan riba jual-beli ini terbagi dua, yaitu riba fadhal dan riba nasi`ah.
1. Riba Fadhl
Kata fadhl dalam bahasa Arab bermakna “tambahan”, sedangkan dalam terminologi ulama, maknanya adalah:
الزيادة في أحد الربويين المتحدي الجنس الحالين
“Tambahan pada salah satu dari dua barang ribawi yang sama jenis secara kontan. ”
Ada pula yang mendefinisikan dengan: kelebihan pada salah satu dari dua komoditi yang ditukar dalam penjualan komoditi riba fadhl, atau tambahan pada salah satu alat pertukaran (komoditi) ribawi yang sama jenisnya.
ربا الفضل: أن يزيد في شيء، أن يزيد في مبادلة مال ربوي بجنسه، أن يزيد في مبادلة مال ربوي بجنسه
Seperti: menukar 20 gram emas dengan 23 gram emas, sebab kalau emas dijual atau ditukar dengan emas, maka harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Demikian juga, dengan segala kelebihan yang disertakan dalam jual-beli komoditi riba fadhl.
Riba fadhl ini dilarang dalam syariat Islam dengan dasar:
a. Dalam hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, serta garam dengan garam harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
b. Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian menjual sebagiannya dengan lainnya dengan perbedaan berat. Janganlah pula menjual sesuatu yang tidak ada (di tempat transaksi) dengan sesuatu yang ada (di tempat transaksi).” (Hr. al-Bukhari)
Sedangkan dalam Shahih Muslim berbunyi,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَي الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ
Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, serta garam dengan garam harus sama beratnya, dan harus diserahterimakan secara langsung. Barangsiapa yang menambah atau minta tambahan maka dia telah berbuat riba, yang mengambil dan memberi riba itu hukumnya sama saja.”
c. Hadits al-Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata,
نَهَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْوَرِقِ بِالذَّهَبِ دَيْنًا
“Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melarang jual-beli perak dengan emas secara tempo (utang).” (Hr. al-Bukhari)
Telah diriwayatkan banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dalam persoalan ini. Sebagian di antaranya disebutkan oleh as-Subki dalam Takmiltul Majmu‘, yaitu sejumlah 22 hadits dalam sebuah pasal tersendiri tentang riba fadhal. Ada yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada juga yang hanya diriwayatkan oleh Muslim. Namun, ada juga yang ada di luar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ada yang derajat haditsnya shahih, namun ada juga yang masih diperdebatkan.
Hikmah Pengharaman Riba Fadhl
Hikmah pengharaman riba fadhl tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zahir, jual-beli ini tidak mengandung manipulasi. Merupakan satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.
Kalau satu sha’ kurma bagus dibeli dengan dua sha’ kurma jelek,–secara logika–tidak ada hal yang salah. Lalu, di mana letak hikmah dari pengharaman tersebut?
Sebelum kita berupaya mencari hikmah tersebut melalui bebagai tulisan para ulama dalam persoalan ini, tidak lupa kita menyebutkan dasar fundamental yang bersifat permanen, yang tidak boleh kita lupakan dalam persoalan yang sudah rumit ini, yakni bahwa seorang muslim harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, baik ia sudah mengetahui hikmah perintah itu maupun belum. Cukup bagi dirinya mengetahui bahwa perintah ini memang berasal dari Allah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui, yang rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, yang segala firman-Nya pasti benar dan penuh keadilan.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. an-Nisa`: 65)
Setelah pendahuluan ini, barulah kita tegaskan:
Kemungkinan penjelasan hikmah yang paling jelas tentang keharaman riba fadhl ini adalah sebagai upaya menutup jalan menuju perbuatan haram, karena riba fadhl ini seringkali menggiring kepada riba nasi`ah. Bahkan, juga bisa menimbulkan bibit-bibit berkembangnya budaya riba di tengah masyarakat, karena orang yang menjual sesuatu dengan sesuatu yang sejenis secara langsung dengan kelebihan pada salah satu yang ditukar, akan mendorongnya untuk menjualnya dengan pembayaran tertunda suatu saat kelak, bersama bunganya.
Itulah yang disyaratkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
لَا تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلَا تَبِيعُوا شَيْئًا غَائِبًا مِنْهَا بِنَاجِزٍ فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرَّمَاءَ
“Janganlah kalian menukar emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali hanya boleh dilakukan bila sama ukuran/beratnya. Jangan kalian pisahkan salah satu di antaranya, dan jangan kalian menjual sesuatu yang belum ada dengan sesuatu yang sudah ada, karena aku khawatir kalian melakukan rama`.”
Rama` yaitu riba. Jika Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual-beli komoditi riba fadhl secara langsung–padahal kelebihan itu karena kualitas, kriteria, bentuk, dan sejenisnya– maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.
Komoditi Ribawi
Para ulama sepakat bahwa riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, asy-sya’ir (gandum), al-burr (gandum merah), dan garam. Oleh karena itu, emas tidak boleh ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan berat yang sama dan transaksi berlangsung secara kontan (cash) di majelis akad transaksi.
Namun, mereka berselisih pendapat, apakah di sana ada illat (sebab pelarangan) yang menjadikannya menjadi komoditi ribawi atau tidak ada? Terdapat dua pendapat:
Pertama: Riba hanya berlaku pada enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan hukum pada keenam komoditi tersebut kepada selainnya. Inilah pendapat Mazhab az-Zahiriyah.
Kedua: Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi, sehingga dapat dianalogikan kepada selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syariat secara umum tidak mungkin membedakan antara hal-hal yang serupa.
Mayoritas ahli fikih menyetarakan keenam komoditi itu dengan segala komoditi yang sama fungsinya (illat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan illat ribawi pada komoditi tersebut.
a. Mazhab Hanafiyah memandang bahwa illat-nya adalah jenis dan ukuran, yaitu takaran dan timbangan. Ini juga riwayat yang masyhur dalam Mazhab Hambali. Mereka memandang bahwa illat pada emas dan perak adalah timbangan dan illat pada empat komoditi ribawi lainnya adalah takaran. Sehingga seluruh yang ditimbang dan ditakar adalah komoditi ribawi. Riba tidak ada pada komoditi yang tidak ditimbang dan ditakar. Dengan ini, menukar satu buah jeruk dengan dua buah jeruk diperbolehkan.
b. Mazhab Malikiyah memandang bahwa illat dalam emas dan perak adalah nilainya (ats-tsamniyah), sedangkan dalam bahan makanan, illat-nya adalah makanan pokok yang dapat disimpan (muddakhar), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.
c. Mazhab Syafi’iyah memandang bahwa illat pada emas dan perak adalah jenis barang berharga dan pada selainnya adalah makanan, yaitu yang sengaja dijadikan makanan manusia secara umum. Ini juga merupakan riwayat kedua dalam Mazhab Hambali.
d. Riwayat lain dalam Mazhab Hambali adalah bahwa illat selain emas dan perak adalah jenis makanan yang ditakar atau ditimbang.
Akan tetapi, terdapat pembahasan yang tidak termasuk dalam perbedaan pendapat tersebut, yakni bahwa illat ribawi yang jelas dari pengharaman emas dan perak adalah pada nilai tukarnya. Apapun yang memiliki nilai tukar, seperti emas dan perak, maka alasan fungsional sebagai riba fadhl juga terdapat padanya. Oleh sebab itu, berbagai jenis mata uang modern disetarakan dengan emas dan perak, sehingga semua hukum riba fadhal diberlakukan pada uang-uang tersebut.
Adapun illat ribawi pada komoditi lainnya, maka–dalam permasalah ini–pendapat kalangan Malikiyyah adalah yang paling tepat. Itu adalah pendapat yang paling unggul dalam persoalan ini, yakni: pada keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi riba fadhl, segala hukum yang berkaitan dengannya dapat berlaku. Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan dua kriteria ini padanya.
Kedua: Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual-beli mereka. Dengan demikian, itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.
Inilah pendapat yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar illat ribawi pada enam komoditi tersebut. Beliau menyatakan, “Inilah pendapat yang paling rajih dibandingkan pendapat yang lain.”
Dengan demikian, menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1. Kedua barang yang dibarter berasal dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Untuk itu, diberlakukan dua syarat:
a. Sama dalam kuantitas. Inilah yang ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
مَثَلاً بِمِثْلِ سَوَاءً بِسَوَاءٍ
b. Pembayaran cash (kontan) di majelis akad. Ini ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam:
يداً بِيَدٍ
Ini berlaku juga pada jual-beli emas dan perak dengan sejenisnya, sebagaimana ditunjukkan hadits Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, yang berbunyi,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum merah dengan gandum merah, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, serta garam dengan garam, harus sama beratnya dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض
2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum atau garam dengan gandum (keduanya berbeda jenis namun satu illat-nya), yaitu makanan pokok dan ditakar; emas dengan perak (keduanya berbeda jenis, namun ilaat-nya satu, yaitu bernilai tukar [ats-tsamniyah]). Pembayaran pada jual-beli komoditi tersebut wajib dilakukan secara cash (kontan) di majelis akad, dan dalam transaksinya tidak disyaratkan kesamaan kuantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallammenyatakan,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Dengan demikian, bila berbeda jenisnya, namun illat ribawinya sama, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad. Inilah yang dikenal dalam kaidah riba fadhl:
وبغير جنسه وجب التقابض فقط
Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan illat-nya, seperti emas dengan gandum, atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan illat-nya, maka tidak diwajibkan kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai (cash). Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
وإذا اختلفت العلل لم يجب شيء
Perlu diketahui:
a. Dalam syariat, mata uang setiap negara dianggap sebagai satu jenis tersendiri. Oleh karena itu, mata uang rupiah adalah satu jenis, riyal adalah satu jenis, dan dollar pun satu jenis tersendiri. Dengan demikian, bila mata uang Riyal ditukar dengan Rupiah, maka pertukaran tersebut termasuk jual-beli (pertukaran) komoditi ribawi yang berlainan jenis, namun satu illat-nya. Hukum jual-beli tersebut adalah boleh, dengan syarat berlangsungnya pembayaran kontan (cash) di majelis akad. Demikian juga, membeli emas dengan mata uang rupiah. Karenanya, emas tidak boleh dibeli dengan mata uang rupiah secara tempo (utang), karena itu termasuk riba.
Sebagian ahli fikih menyatakan,
واللحم أجناس باختلاف أصوله
Pengertiannya: daging hewan tertentu itu satu jenis tersendiri, seperti daging kambing adalah satu jenis dan daging sapi jenis lainnya. Mereka memasukkan daging sebagai komoditi ribawi, sehingga berlakulah kaidah-kaidah riba fadhl padanya. Kemungkinannya, daging dianggap sebagai makanan pokok yang dapat disimpan. Dalilnya adalah perbuatan para sahabat yang menyimpan daging kurban hingga berhari-hari.
b. Emas yang telah dibentuk menjadi perhiasan–yang tentunya turun kadar emasnya menjadi 22 karat atau 21 karat–, atau lainnya dengan emas atau mata uang. Muamalah ini pun masuk dalam kategori riba fadhl yang diwajibkan padanya kesamaan kuantitas dan pembayaran tunai. Lajnah Da`imah lil Buhuts al-ISlamiyah wal Ifta (Komisi Tetap Penelitian Islam dan Fatwa Saudi Arabia) berfatwa dalam masalah ini (no. 4518),
“Emas tidak boleh dijual dengan emas, begitupula antara perak dengan perak, kecuali sama kuantitasnya dan harus tunai, baik kedua komoditi tersebut berupa emas yang telah dibentuk perhiasan atau berupa emas asli (an-nuqud) atau salah satunya telah dibentuk (al-mushagh) dan yang lain emas asli. Juga, walaupun kedua komoditi tersebut berupa mata uang kertas (wariq al-bankanut) atau salah satunya mata uang kertas dan lainnya emas bentukan (al-mushagh) atau emas asli.“
Ditandatangani oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz (ketua), Abdurrazzaq Afifi (wakil), Abdullah bin Ghadayan dan Abdullah bin Qu’ud (anggota).
2. Riba Nasi`ah ( ربا النسيئة)
Definisi Riba Nasi`ah
Nasi`ah, dalam etimologi bahasa Arab, bermakna “pengakhiran”. Adapun dalam pengertian etimologi ahli fikih, nasi`ah adalah pengakhiran serah terima pada salah satu komoditi ribawi–yang satu illat-nya pada riba fadhl (تأخير القبض في أحد الربويين المتحدين في علة ربا الفضل)–atau penerimaan salah satu dari barang yang dibarter atau dijual secara tertunda dalam jual-beli komoditi riba fadhl. Kalau salah satu komoditi riba fadhl dijual dengan barang riba fadhl lain, seperti emas dijual dengan perak atau sebaliknya, atau satu mata uang dijual dengan mata uang lain, diperbolehkan adanya ketidaksamaan, namun tetap diharamkan penangguhan penyerahannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam,
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Nash-nash pengharaman riba mencakup semua jenis riba yang telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, jelaslah keberadaan riba dalam muamalah menjadi sebab pengharamannya dan larangannya secara syar’i. Namun, menghukumi banyak keadaan sebagai muamalah ribawi atau bukan, memerlukan penelitian dan kehati-hatian. Ibnu katsir rahimahullahu memberikan peringatan dalam hal ini,
“Bab (pembahasan) Riba termasuk pembahasan yang paling rumit bagi banyak ulama.”
=================
6. Semua Muamalah yang Berisi al-Maisir (Perjudian) Adalah Terlarang
Definisi Perjudian
Kata ( الميسر) dalam etimologi bahasa Arab adalah kata mashdar mimi dari kata (يسر) seperti kata (الموعد) dari (وعد).
Kata ini digunakan untuk pengertian:
a. Kemudahan, karena mendapatkan harta dengan mudah.
b. Merasa cukup (kecukupan), apabila diambil dari kata (اليسار), karena ia mencukupkan dengan hal itu.
c. Kewajiban. Orang Arab menyatakan: (يسر لي الشيء) apabila wajib.
d. Menyembelih.
Kesimpulannya, kata al-maisir (perjudian) dari sisi bahasa mencakup dua hal:
1. Ia adalah usaha mendapatkan harta tanpa susah payah.
2. Ia adalah cara mendapatkan harta dan sebab menjadi kaya (berkecukupan).
Sedangkan dalam terminologi ulama, ada beberapa ungkapan:
Yaitu, semua muamalah yang dilakukan manusia dalam keadaan tidak jelas akan beruntung atau merugi sekali (spekulatif). Kalau begitu, al-maisir (perjudian) mencakup semua muamalah yang terjadi dengan ketidakjelasan apakah untung atau buntung. Sehingga, ketentuan dasar al-maisir (perjudian) adalah semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan antara untung dan rugi, yang bersumber dari al-gharar serta spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Perbedaannya dengan perniagaan adalah, dalam perniagaan, pihak transaktor akan mendapatkan barang, sedangkan al-maisir (perjudian) terdapat ketidakjelasan, apakah hartanya hilang dengan pengganti, hilang begitu saja, atau hilang hartanya dan muncul kebencian.
Kalau begitu, setiap muamalah yang berkisar pada ketidakjelasan, apakah untung atau buntung (rugi) dinamakan al-maisir (perjudian). Apabila berbentuk harta, maka dinamakan al-qimar.
Untuk memperjelas permasalahan, mungkin dapat diberikan contoh gambaran sebagai berikut:
“Seorang ingin membeli barang untuk dijual”. Barang tersebut dibeli untuk mendapatkan keuntungan, lalu ia membelinya dan mendapatkan barang tersebut. Di sini ada spekulasi, apakah ia akan untung atau tidak? Namun, spekulasi ini tidak dilarang dalam syariat, sebab semua orang yang membeli barang untuk mendapatkan keuntungan pasti menjumpai spekulasi (mendapatkan untung ataukah tidak).
Oleh karena itu, para ahli fikih menyatakan, “Syariat Islam tidak meniadakan dan mengharamkan semua jenis spekulasi. Bahkan, tidak ada muamalah maliyah tanpa ada unsur spekulasinya, sebab spekulasi bermacam-macam jenisnya. Spekulasi dalam perniagaan tidak diharamkan karena pembeli mendapatkan barang.“
Sedangkan dalam bentuk perjudian ada ketidakjelasan, apakah ia untung atau bunting, atau mendapatkan barang tersebut atau tidak mendapatkannya sama sekali.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Tidak ada dalam dalil-dalil syariat yang mengharuskan pengharaman semua spekulasi. Bahkan, sudah dimaklumi, bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan semua spekulasi dan semua yang berada dalam ketidakjelasan antara untung, rugi, atau balik modal.”
Beliau juga berkata, “Demikian juga, setiap orang yang membeli barang dengan berharap mendapatkan keuntungan dan takut rugi, tergolong pada spekulasi yang diperbolehkan di dalam al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.”
Al-maisir (perjudian) merupakan satu amalan yang ada pada zaman jahiliyah dalam beberapa bentuk aplikasi:
a. Melakukan al-maisir (perjudian) dan al-qimar dalam perlombaan dan rihan (taruhan).
b. Melakukan al-maisir (perjudian) dalam muamalah.
Oleh karena itu, Sa’id bin Al Musayyib rahimahullahu menyatakan,
كَانَ مِنْ مَيْسِرِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ بَيْعُ الْحَيَوَانِ فِي اللَّحْمِ وَبِالشَّاةِ وَالشَّاتَيْنِ
“Di antara perjudian ahli jahiliyah adalah menjual hewan hidup dengan daging serta dengan satu dan dua kambing.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’)
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dan al-Qimaar
Para ulama berselisih dalam masalah ini dalam dua pendapat:
1. Al-maisir (perjudian) dan al-qimar adalah sinonim.
2. Keduanya tidak sinonim. Perbedaannya adalah:
- Al-qimar adalah saling mengalahkan dan spekulatif pada harta.
- Al-maisir (perjudian) mencakup semua jenis mukhatharah (spekulasi), baik dalam pertukaran (mu’awadhah) atau bukan. Terkadang, ada pertukaran harta dan terkadang tidak ada. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullahu-–mengikuti pendapat
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah–, menyatakan,
اَلسَّلَفُ كَانُوْا يُعَبِّرُوْنَ بِالَمَيْسِرِ عَنْ كُلِّ مَا فِيْهِ مُخَاطَرَةٍ مُحَرَّمَةٍ، وَلَمْ يَشْتَرِطُوا الْمَالَ فِي الْمَيْسِرِ
Para salaf dahulu, mengungkapkan semua yang ada mukhatharah (spekulasi) yang diharamkan dengan ungkapan al-maisir (perjudian), dan mereka tidak mensyaratkan adanya harta dalam al-maisir (perjudian).
Perbedaan antara al-Maisir (Perjudian) dengan al-Gharar
Definisi al-gharar dan al-maisir (perjudian) tampak sekali hampir sama. Oleh karena itu, para ulama menyebut keduanya adalah sinonim atau salah satunya bagian dari yang lain. Namun kesamaan ini tidak berarti sama dalam pengertian keduanya. Hal itu karena sebagian jenis al-gharar tidak dapat dinamakan al-maisir (judi). Karenanya, kata al-maisir (الميسر) lebih khusus dari kata al-gharar (الغرر). Dengan demikian, setiap al-maisir adalah al-gharar, dan tidak semua al-gharar adalah al-maisir. Sebuah muamalah yang mengandung gharar terkadang tidak mengandung unsur judi.
Dr. adh-Dharir menyatakan, “Contohnya adalah: muamalah yang berhubungan dengan ketidakjelasan pondasi tembok atau buah yang belum jadi. Ini semua termasuk al-gharar, namun bukan al-maisir.”
Jenis al-Maisir
Al-Maisir terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Maisir al-Lahwu, yaitu yang tidak dilakukan dengan harta. Contohnya, bermain dadu, catur, dan sebagainya. Oleh karena itu, sebagian salaf menjadikan semua hal yang melalaikan dari shalat dan zikir sebagai al-maisir.
2. Al-qimar.
Pengharaman al-Maisir (Perjudian)
Al-maisir (perjudian) terlarang dalam syariat Islam, dengan dasar al-Quran, as-Sunnah, dan ijma’.
Dalam al-Quran, terdapat firman Allah subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. al-Ma’idah: 90)
Dari as-Sunnah, terdapat sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih al-Bukhari,
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ : تَعَال أُقَامِرُكَ فَلْيَتَصَدَّقْ
“Barangsiapa yang menyatakan kepada saudaranya, ‘Mari, aku bertaruh denganmu.’ maka hendaklah dia bersedekah.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan ajakan bertaruh–baik dalam pertaruhan atau muamalah–sebagai sebab membayar kafarat dengan sedekah, Ini menunjukkan keharaman pertaruhan. Demikian juga, sudah ada ijma’ tentang keharamannya.
Orang yang menelaah kaidah-kaidah syariat, pasti akan mengetahui secara pasti tentang pengharaman perjudian ini dalam segala keadaannya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Apabila anda menelaah keadaan al-mughalabat (perlombaan dengan taruhan harta), dalam hal ini anda pasti melihatnya seperti khamr (miras): sedikitnya menyeret kepada banyaknya, dan banyaknya menghalanginya dari semua hal dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, serta menjerumuskan ke dalam perbuatan yang dbenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Seandainya tidak ada satu pun nash syariat yang mengharamkannya, tentulah ushul syariat, kaidahnya, kandungan hikmah dan maslahat, serta kaidah, (akan) menyamakan dua hal yang serupa menuntut pengharaman dan pelarangannya.“
Ketika syariat Islam tegak di atas keadilan dalam semua hukum-hukum dan ajarannya, maka ia melarang semua muamalah yang berisi perjudian. Ketentuan tersebut terbatas pada semua muamalah yang membuat orang yang melakukannya berada dalam ketidakjelasan, antara untung dan rugi yang bersumber dari gharar dan spekulasinya, dan hal itu menjadi sebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan, “Semua muamalah yang dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada kalanya masuk dalam riba dan adakalanya masuk dalam al-maisir (perjudian).”
Sedangkan Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Sesungguhnya, mayoritas muamalah yang dilarang dalam al-Quran dan Sunnah kembali pada realisasi keadilan dan larangan berbuat zalim–baik yang kecil atau pun besar–, seperti: memakan harta orang lain dengan batil, dan sejenisnya dari riba dan al-maisir (perjudian).”
Oleh sebab itu, syariat melarang jual-beli gharar dan jual-beli yang berisi perjudian, karena di dalamnya terdapat unsur memakan harta dengan batil. Selain itu, kedua jenis jual-beli tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya permusuhan dan kebencian di antara manusia.
=================
7. Muamalah Dibangun di Atas Kejujuran dan Amanah
(المُعَامَلاَتُ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الصَّدْقِ وَ الأَمَانَةِ)
Definisi ash-Shidq (Kejujuran) dan Amanah
Kata (الصَّدْقِ) dalam etimologi bahasa Arab menunjukkan pada pengertian kekuatan pada sesuatu, baik berupa perkataan atau selainnya, yaitu kesamaan hukum atas realitasnya. Kata ini adalah anonim kata (الكَذِب). Sedangkan kata (الأَمَانَةِ) merupakan anonim dari kata (الخِيَانَة), yang memiliki pengertian: ketenangan hati, tasdiq, dan wafa’ (penunaian secara total).
Kata “jujur”, dalam istilah (terminologi) muamalah, adalah pernyataan transaktor yang sesuai dan tidak menyelisihi realitasnya. Sedangkan amanah adalah penyempurnaan akad transaksi dan penunaiannya, serta tidak menyelisihinya
Dalil Kaidah Ini
Kaidah ini telah ditetapkan oleh al-Quran, Sunnah, dan ijma’. Allah telah mewajibkan pada hamba-Nya untuk berbuat jujur dan amanah dalam seluruh perkara, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (Qa. at-Taubah: 119)
Juga, firman-Nya ‘Azza wa Jalla,
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya, Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (Qs. an-Nisa`: 58)
Ketika maksud dari muamalah adalah mendapatkan usaha dan keuntungan, sehingga terkadang membawa manusia untuk berdusta dan berkhianat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat jujur, amanah, dan menjelaskan perkaranya dengan benar.
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلاَ تَبْخَسُواْ النَّاسَ أَشْيَاءهُمْ وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“… Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya. Jangan pula kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu benar-benar orang-orang yang beriman.” (Qs. al-A’raf: 85)
Juga, firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“… Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya).” (Qs. al-Baqarah: 283)
Demikian juga, perintah menunaikan akad-akad transaksi, seperti dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (Qs. al-Maidah: 1)
Kesemua ayat-ayat ini menunjukkan bahwa dasar muamalah adalah kejujuran dan amanah.
Sedangkan, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan hal ini banyak sekali, di antaranya adalah hadits Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi,
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jual-beli itu dengan khiyar (hak pilih) selama belum berpisah–atau (beliau) menyatakan, ‘hingga keduanya berpisah.’ Apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan barangnya), maka berkah akan diberikan dalam jual-belinya, dan jika keduanya menyembunyikan (aib) dan berdusta maka berkah dihapus dalam jual-belinya.“ (Hr. al-Bukhari dan Muslim)
Demikian juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan ancaman berat bagi orang yang berdusta dalam muamalahnya, dalam sabdanya,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara dan tidak dilihat oleh Allah di hari kiamat, serta yang tidak disucikan dan yang mendapat adzab yang pedih. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tiga kali. Abu Dzar bertanya, ‘Mereka telah rugi dan menyesal. Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Orang yang berpakaian melebihi mata kaki (al-musbil), orang yang mengungkit pemberiannya (al-mannan), dan orang yang menutupi barang dagangannya dengan sumpah dan dusta.’ ” (Hr. Muslim)
Tidak cukup dengan itu saja, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarang kebohongan dalam muamalah, sebagaimana beliau menegur pedagang yang menutupi aib barang dagangannya dengan menyatakan,
مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
“Apa ini wahai pedagang makanan?” Pedagang itu menjawab, “Terkena hujan, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu taruh makanan tersebut di atas agar orang melihatnya? Barangsiapa yang berbuat bohong maka (dia) bukan (bagian) dariku.” (Hr. Muslim)
Hadits ini, mencakup semua jenis muamalah, baik berupa jual-beli, sewa-menyewa, syarikat, dan yang lainnya.
Kaidah dasar dalam kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah disampaikan oleh Imam al-Ghazali rahimahullahu dalam pernyataan beliau,
ألا يُحِبُّ لِأَخِيْهِ إِلاَّ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ فَكُلُّ مَا عومل بِهِ شقَّ عَلَيْهِ وثقل عَلَى قَلْبِهِ فَلاَ يُعَامِلُ بِهِ أَخَاهُ
“Menginginkan untuk saudaranya seperti yang ia inginkan untuk dirinya, sehingga semua muamalah yang membuatnya susah dan menyusahkan hatinya, janganlah dilakukan untuk saudaranya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna keimanan seorang mukmin hingga ia mencintai untuk saudaranya segala sesuatu yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Perinciannya disampaikan al-Ghazali dalam pernyataan beliau,
“Adapun perinciannya, ada dalam empat hal, yaitu:
1. Tidak memuji barang dagangannya dengan berlebihan (tidak memuji dengan mengungkapkan keunggulan yang tidak terdapat pada barang dagangannya).
2. Jangan menyembunyikan aibnya dan sifat-sifat jeleknya, sedikit pun.
3. Jangan menyembunyikan berat dan ukurannya, sedikit pun.
4. Jangan menyembunyikan harganya, yang seandainya orang yang ia muamalahi mengetahuinya tentulah ia tidak akan mau (membelinya).”
Demikianlah, kewajiban jujur dan amanah dalam muamalah, sehingga imam Ahmad rahimahullahu melarang berdiplomasi dalam jual-beli, karena berisi tadlis (penyembunyian aib) dan tidak menjelaskan keadaan barangnya dengan seharusnya. Hal ini tidaklah khusus hanya dalam jual-beli saja, bahkan bersifat umum dalam semua muamalah.
Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “Semua yang wajib dijelaskan, maka diharamkan untuk dilakukan diplomasi atasnya, karena itu adalah penyembunyian (hakikat) dan tadlis (penyembunyian aib).”
================
8. Kaidah Saddu Adz Dzari’ah dan Pembatalan Al Hielah
(سَدُّ الذَّرَائِعِ وَ إِبْطَالُ الْحِيَلِ)
Definisi “Saddu adz-Dzari’ah” (سد الذرائع)
Kata (السد) dalam etimologi bahasa Arab, bermakna: menutupi kekurangan, menyumbat lubang, dan menahan sesuatu. Sedangkan, kata (الذرائع) adalah bentuk plural dari kata (ذريعة), yang berarti wasilah (sarana).
Dalam terminologi, para ulama mengungkapkannya dengan beberapa ungkapan yang hampir serupa:
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu menyatakan, “Semua amalan yang tampaknya diperbolehkan, namun dapat mengantar kepada perkara yang dilarang.”
Ibnu an-Najjar rahimahullahu menyatakan, “Semua yang tampak (zahir-nya) mubah, namun mengantarkan kepada perkara yang diharamkan.”
Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, “Ia adalah masalah yang tampak (zahir-nya) mubah dan menjadi sarana kepada perbuatan terlarang.”
Kalau demikian, maka pengertian “saddu adz-dzari’ah” adalah:
(منع الوسائل التي ظاهرها مباح والتي يتوصل بها إلى محرم حسمًا لمادة الفساد و دفعًا لها)
“Melarang sarana-sarana, yang zahir-nya mubah dan dapat menjadi sarana kepada keharaman, untuk mencegah kerusakan dan menolaknya.”
Pembagian Kaidah Saddu adz-Dzara`i
Adz-dzara`i dalam tinjauan pernyataan para ulama, terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Ijma’ menyatakan wajib untuk mencegahnya dan itu terjadi pada perbuatan yang menjadi sarana kerusakan dalam perkara agama dan dunia, karena perbuatan tersebut memang menjadi sarana kerusakan secara pasti. Contohnya, larangan minum minuman memabukkan, karena dia adalah sarana yang mengantar kepada keadaan mabuk yang merusak akal. Demikian juga, zina terlarang karena dia menjadi sarana ketidakjelasan dan kerusakan nasab.
2. Ijma’ menyatakan itu sebagai dzari’ah namun tidak wajib dicegah. Seperti, menanam anggur adalah perbuatan yang tidak wajib dicegah, walaupun mungkin ada orang yang membeli dan memiliki serta memerasnya untuk dijadikan khamr. Demikian juga, berdempetan dalam membuat rumah yang dapat menjadi sarana berbuat zina.
3. Yang masih diperselisihkan para ulama, yaitu sarana mubah yang mengantar kepada keharaman secara mayoritas atau dominan.
Dalam masalah ini, pendapat para ulama dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu:
a. Harus dicegah (diberlakukan kaidah saddu adz-dzari’ah). Inilah pendapat Mazhab Malikiyah dan Hanabilah.
b. Tidak memberlakukan kaidah ini. Inilah pendapat Mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah. Namun, mereka pun tetap memberlakukan kaidah ini dalam realitas dan aplikasinya pada ijtihad-ijtihad mereka, tetapi dimasukkan dalam kaidah lainnya.
Yang rajih adalah pendapat pertama. Inilah yang dirajihkan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau, “Apabila dzari’ah-dzari’ah ini mengantar kepada kerusakan (mafsadat) secara pasti (yakin) atau dominant, maka syariat mengharamkannya secara mutlak.
Juga, Ibnul Qayyim rahimahullahu merajihkannya, hingga beliau menjelaskan sembilan puluh sembilan dalil kewajiban saddu adz-dzari’ah, apabila mengantar kepada keharaman. Kemudian, beliau menyatakan, “Bab Saddu adz-Dzara`i adalah salah satu pokok penting taklif, karena taklif adalah perintah dan larangan. Perintah itu ada dua jenis: pertama, yang dimaksudkan (menjadi tujuan); kedua, yang menjadi wasilah kepada kerusakan (mafsadah). Oleh karena itu, saddu adz-dzari’ah menjadi salah satu pokok penting agama.”
Ketentuan Dasar Mengamalkan Kaidah Ini (ضَوَابِطُ فِيْ إِعْمَالِ قَاعِدَة سَدِّ الذَّرَائِع)
Saddu adz-dzara’i merupakan salah satu kaidah penting dalam agama, sehingga para ulama memberikan ketentuan dasar dalam mengamalkan kaidah ini. Ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan yang diperbolehkan tersebut menjadi sarana kerusakan atau kerusakan secara dominan.
(أَنْ يَكُوْنَ الْفِعْلُ الْمَأْذُوْنُ فِيْهِ مُؤَدِّياً إِلَى الْفَسَادِ أَوْ إِلىَ مَفْسَدَةٍ غَالِبَةً)
“Apabila perbuatan tersebut menjadi sarana kerusakan dalam keadaan kadang-kadang dan tidak dominan, maka perbuatan tersebut tidak dilarang dan dia tetap pada hukum asalnya, tidak dibutuhkan untuk mencari dalil kebolehannya.”
2. Mafsadah yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut harus sama atau lebih besar dari maslahatnya.
(أَنْ تَكُوْنَ الْمَفْسَدَةُ النَّاتِجَةُ عَنْ الفِعْلِ الْمَأْذُوْنِ مُسَاوِيَةً لِمَصْلَحَتِهِ أَوْ أَكْثَرَ)
“Apabila maslahat melakukan perbuatan tersebut lebih besar dari mafsadat yang timbul, maka tidak dilarang, sebab keberadaan syariat adalah untuk mendapatkan maslahat dan memperbanyaknya, serta menghilangkan atau mengurangi mafsadat.
Dari sinilah terdapat larangan mencaci-maki sesembahan orang kafir musyrik di hadapan mereka, dalam firman Allah,
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nantinya mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas, tanpa pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka segala sesuatu yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. al-An’am: 108)
Padahal, ada kemaslahatannya. Itu karena mencacinya menjadi sebab timbulnya mafsadat yang lebih besar dari maslahat tersebut, yaitu mencaci maki Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan dasar ini, terdapat tiga kategori, antara lain:
a. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut sejajar dan sama dengan maslahatnya, maka kaidah saddu adz-dzara`I berlaku.
b. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih besar dari maslahat yang timbul dari mencegahnya, maka kaidah ini berlaku.
c. Mafsadat yang timbul dari perbuatan tersebut lebih sedikit dari maslahatnya, maka kaidah ini tidak berlaku.
3. Dalam mengamalkan kaidah ini, tidak disyaratkan adanya tujuan mukallaf berbuat kerusakan, bahkan cukup dengan banyaknya tujuan itu secara adat, sebab niat, atau tujuan tersebut pada umumnya tidak dapat dibuat baku, karena masalah batin yang sulit dijadikan pedoman.
4. Semua yang dilarang dalam rangka saddu adz-dzara`I menjadi diperbolehkan apabila terdapat kebutuhan. Contohnya, melihat wanita yang bukan mahram (an-nazhar) bagi orang yang akan melamar wanita tersebut. Juga, dokter yang melihat lawan jenisnya. Dikarenakan oleh adanya hajat (kebutuhan), maka kedua hal ini diperbolehkan apabila aman dari mafsadat.
Berbicara tentang saddu adz-dzara`i tidak lepas dari pembicaraan tentang pembatalan semua bentuk al-hilah (tipu muslihat dalam pembenaran yang dilarang). Pembatalan al-hilah adalah bagian dari saddu adz-dzari’ah, karena pengertian al-hilah adalah mengamalkan satu amalan yang tampaknya diperbolehkan, untuk membatalkan satu hukum syar’I dan mengubahnya secara zahir kepada hukum lainnya, atau tujuan menggugurkan kewajiban dan menghalalkan keharaman dengan perbuatan yang tidak dimaksudkan kepada keharaman dan tidak disyariatkan untuknya.
Ibnu Taimiyah menjelaskan hubungan antara kaidah saddu adz-dzari’ah dengan ibthalul hiyal (pembatalan al-hilah), dengan menyatakan, “Kemudian, dzari’ah ini ada yang mengantarkan kepada hal-hal yang terlarang, tanpa niat dari pelakunya, dan ada juga yang kebolehannya mengantarkan kepada sarana menuju keharaman. Bagian yang kedua ini menyerupai al-hilah. Terkadang (dia) disertai al-hilah dan terkadang tidak, sebagaimana terkadang al-hilah menggunakan dzari’ah (sarana) dan terkadang menggunakan sebab-sebab yang hukum asalnya mubah dan bukan dzari’ah.
Dengan demikian, ada tiga klasifikasi:
1. Ia adalah dzari’ah yang digunakan untuk al-hilah, seperti menyatukan antara jual-beli dengan utang.
2. Ia adalah dzari’ah, namun tidak digunakan untuk al-hilah, seperti: mencela berhala, karena dia menjadi sarana (dzari’ah) mencela Allah; mencela orangtua orang lain yang menjadi sarana orang tersebut untuk mencela orang tuanya, walaupun tidak menjadi tujuan seorang mukmin.
3. Yang digunakan al-hilah dari hal-hal yang asalnya mubah, seperti menjual nishab di pertengahan tahun agar lepas dari zakat; meninggikan harga untuk menggugurkan asy-syuf’ah.
Ibnul Qayyim menyatakan, “Apabila anda menelaah syariat, tentulah anda mendapati bahwa syariat membawa kaidah saddu adz-dzari’ah yang mengantar pada keharaman. Itu kebalikan pembahasan pembatalan semua bentuk al-hilah yang mengantar kepadanya. Al-hilah adalah sarana dan pintu menuju keharaman, dan saddu adz-dzari’ah adalah lawannya. Kerananya, antara keduanya ada kontradiksi yang besar. Syariat mengharamkan dzara’i (sarana) walaupun sarana tersebut bukanlah tujuan yang dimaksudkan keharamannya karena dzara’I tersebut mengantar kepada keharaman. Lalu, bagaimana bila keharaman tersebut sebagai tujuan?
Jenis-jenis al-Hilah
Ada dua cara dalam pembagian al-hilah, menurut para ulama: pembagian versi Ibnu Taimiyah dan muridnya (Ibnul Qayyim), serta pembagian versi asy-Syathibi.
Pembagian al-Hilah versi Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah membagi al-hilah menjadi beberapa bagian, di antaranya:
Cara tersembunyi yang dipakai untuk memperoleh perkara terlarang. Hal ini tidak diperbolehkan, dengan kesepakatan kaum muslimin, seperti: tipu muslihat untuk bunuh diri, mengambil harta orang lain, merusak hubungan antara dua orang, tipu muslihat setan dalam menyesatkan manusia, dan lain-lain.
III.TRANSAKSI  JUAL BELI DALAM ISLAM


Pengertian jual beli secara etimologis adalah menukar harta dengan harta .Sedangkan secara terminologis berarti transaksi penukaran selain dengan fasilitas dankenikmatan. Sengaja diberi pengecualian ”fasilitas” dan ”kenikmatan”, agar tidaktermasuk di dalamnya penyewaan dan menikah (Al-Mushlih, 2004, hlm. 90).Menurut ulama Hanafiyah, jual-beli adalah pertukaran harta (benda) dengan hartaberdasarkan cara khusus (yang dibolehkan).Sedangkan menurut Ibnu Qudamah dalam kitab
Al-Majmu’ , didefinisikan sebagaipertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.
Jual beli adalah dua kata yang berlawanan artinya, namun masing-masing sering digunakan untuk artikata yang lain secara bergantian. Oleh sebab itu, masing-masing dalam akad transaksi disebut sebagaipembeli dan penjual. Rosulullah SAW bersabda,”Dua orang yang berjual-beli memiliki hak untukmenentukan pilihan, sebelum mereka berpindah dari lokasi jual beli.” Akan tetapi bila disebutkan secaraumum, yang terbetik dalam hak adalah kata penjual diperuntukkan kepada orang yang mengeluarkanbarang dagangan. Sementara pembeli adalah orang yang mengeluarkan pembayaran. Penjual adalahorang yang mengeluarkan barang miliknya. Sementara pembeli adalah orang yang menjadikan barang itumiliknya dengan kompensasi pembayaran.

Jual beli dalam Al-Qur’an merupakan bagian dari ungkapan perdagangan atau dapat juga disamakan dengan perdagangan. Pengungkapan perdagangan ini ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah, bay’ dan Syira’. Kata التجارة- adalah mashdar dari kata kerja (تجر يتجر تجرا و تجارة) yang berarti (باع dan شرى ’) yaitu menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Al-Quran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surah Al-Baqarah :16 dan 282 , An-Nisa’ : 29, At-Taubah : 24, An-Nur:37, Fathir : 29, Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11. Di antara delapan ayat tersebut hanya 5 ayat yang berkonotasi bisnis. Sedangkan 3 ayat lagi makna tijarah tidak berkonotasi bisnis (perdagangan) yang riel. Sedangkan kata ba’a (باع) ) yang artinya menjual dengan bentuk بيع disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu 1). Surah Al-Baqarah :254, 2). Al-Baqarah : 275, 3). Surah Ibrahim 31 dan 4. Surah Al-Jum’ah :9.
Selanjutnya term perdagangan lainnya yang juga dipergunakan Al-Quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat Akan tetapi setelah diteliti, hanya 2 ayat saja yang berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenarnya, yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22.
Sedangkan perdagangan dalam kamus wikipedia dapat didefinisikan sebagai kegiatan tukar menukar barang atau jasa atau keduanya. Tukar menukar barang ini pada masa awal sebelum uang ditemukan, dinamakan barter. Pada masa modern perdagangan dilakukan dengan penukaran uang. Setiap barang dinilai dengan sejumlah uang. Pembeli akan menukar barang atau jasa dengan sejumlah uang yang diinginkan penjual.

DALIL HUKUM JUAL BELI1. Al-Qur’an
Dalil hukum jual beli di dalam Al-Qur’an, diantaranya terdapat pada ayat-ayat berikutini:

“Dan Allah menghalalkan
jual beli 
dan mengharamkan riba” (QS Al-Baqarah:275)


”Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual-beli 
” (QS Al-Baqarah:282)

”Kecuali dengan jalan
perniagaan 
yang dilakukan suka sama suka” (QS An-Nisa’:29)


”Mereka mengharapkan
perdagangan 
yang tidak akan rugi” (QS Al-Fathir:29)

2. As-Sunah
Di dalam As-sunah, disyariatkannya jual beli terdapat pada hadits-hadits berikut:
Rasulullah SAW ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliaumenjawab,”Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual-beli yangmabrur” (HR
. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’ 
).Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari tipu-menipu dan merugikan orang lain.
”Jual beli harus dipastikan saling
ridla 
.” (
HR. Baihaqi dan Ibnu Majah 
3. Ijma’
Dalil kebolehan jual beli menurut Ijma’ ulama adalah:Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusiatidak akan mempu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namundemikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus digantidengan barang lainnya yang sesuai. 

Hukum Jual Beli
Berdasarkan ijma’ ulama, jual beli dibolehkan dan telah dipraktekkan sejak masa Rasulullah. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah 275, “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Rasulullah bersabda, “Usaha yang paling utama (afdhal) adalah hasil usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan hasil dari jual beli yang mabrur”. Nabi saw bersabda: ”Kedua penjual dan pembeli itu ada masa memilih selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan saling memberikan keterangan dengan jelas, semoga jual belinya diberkahi. Namum jika keudanya dusta dan ada yang saling disembunyikan, hilanglah berkah jual beli keduanya.” (Muttafaq alaih dari hadits Hakim bin Hizam: Al-Bukhari dan Muslim).
Prinsip-prinsip perdagangan yang diajarkan Alquran ialah :
Pertama : Setiap perdagangan harus didasari sikap saling ridhadi antara dua pihak, sehingga para pihak tidak merasa dirugikan atau dizalimi.
Kedua : Penegakan prinsip keadilan,baik dalam takaran, timbangan, ukuran mata uang (kurs), dan pembagian keuntungan,
Ketiga : Prinsip larangan riba (interest free)
Keempat: Kasih sayang, tolong menolong dan persaudaraan universal
Kelima: Dalam kegiatan perdagangan tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti usaha-usaha yang merusak mental misalnya narkoba dan pornograpi. Demikian pula komoditas perdagangan haruslah produk yang halal dan thayyib baik barang maupun jasa.
Keenam: Perdagangan harus terhindar dari praktek spekulasi, gharar, tadlis dan maysir
Ketujuh: Perdagangan tidak boleh melalaikan diri dari beribadah (shalat dan zakat) dan mengingat Allah.
Kedelapan: Dalam kegiatan perdagangan baikhutang-piutang maupun bukan,hendaklah dilakukan pencatatan yang baik (akuntansi).
 Rukun dan Syarat Jual Beli
Dalam Islam, hal yang berkaitan dengan muamalah jual beli harus memenuhi rukun dan syarat jual beli. Dalam http://ms.wikipedia.org/wiki/Takaful, dijelaksan rukun jual beli adalah sebagai berikut:
1. Penjual dan Pembeli
2. Aqad (Ijab dan Qabul)
3. Barang (Ma’kud Alaih/Subject Matter)
Sedangkan syarat-syarat bagi setiap rukun-rukun tersebut adalah penting dan mesti dipenuhi, karena jual beli dinyatakan syah apabila telah memenuhi syarat-syarat atas pelaku akad, barang yang akan diakadkan, atau tempat berakad, barang yang akan dipindahkan kepemilikannya dari salah satu pihak kepada pihak lain baik berupa harga atau barang yang ditentukan dengan nilai atau harga.
Adapun syarat-sayarat pelaku akad adalah berakal dan mempunyai kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil tidak bisa dinyatakan sah. Bagi anak kecil yang sudah mampu membedakan yang benar dan yang salah maka akadnya sah, tapi tergantung izin walinya. Lebih lengkap berikut 3 hal persyaratan untuk kedua penjual dan pembeli yaitu :
1. Keduanya saling ridho, seperti yang disabdakan oleh Nabi saw berikut :
· Dari Abu Sa’id Al-Khudi bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka” (HR. Al Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)
· Nabi saw bersabda : ” sesungguhnya jual beli itu karena keridhaan” (Diriwayatkan Ibnu Hibban, Ibnu Majah, dan selain keduanya).
2. Keduanya adalah orang yang sudah diperbolehkan mengambil sikap masing-masing.
3. Berhak dan memiliki barang yang dijual atau mewakili sang pemiliknya, Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw kepada Hakim bin Hizam : ” janganlah engkau menjual apa-apa yang bukan milikmu” (Diriwatkan Ibnu Majah, At-Tirmidzi, dan menyahihkannya).
Sedangkan syarat-syarat barang akad adalah sebagai berkut:
1. Suci, bukan barang yang mengandungi unsur-unsur najis dan dilarang Syara’ (halal dan baik).
Ini didasarkan atas hadits Rasulullah “Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi, dan patung-patung”. Mengambil manfaat dari lemak bangkai, bukan untuk diperjualbelikan hukumnya boleh. Contoh memberi minyak pada kulit, dijadikan bahan bakar penerangan. Ibnu Qayyim berpendapat atas hadits tersebut bahwa semua perbuatan tersebut adalah haram, dan menjualbelikannya, sekalipun si pembeli menggunakannya untuk kepentingan yang sama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa semua jenis barang najis berlaku ketentuan haram. Sedangkan Hanafi dan Zhahiri mengecualikan barang yang mempunyai manfaat dan halal untuk diperjualbelikan.
2. Bermanfaat
Transaksi jaul beli serangga, ular dan tikus tidak dibolehkan kecuali untuk sesuatu yang bermanfaat. Demikian dengan yang lainnya.
3. Milik orang yang melakukan akad atau yang diberi izin oleh pemilik (jika tanpa izin disebut bai’ al-fudhuli)
Akad fudhuli dianggap sebagai akad yang sah, akan tetapi keabsahan hukumnya tergantung izin pemilik sah atau wakilnya. Jika si pmiliknya membolehkannya maka sah akadnya, jika tidak maka batal akadnya.
4. Barang tersebut dapat diserahkan dalam majlis akad.
Sesuatu yang tidak dapat dapat diserahkan secara konkrit maka tidak sah hukumnya, seperti ikan dalam air, burung yang terbang,
5. Barang tersebut telah ditentukan jenis dan kuantitinya, barang dan nilainya diketahui (statusnya jelas)
Hal ini untuk menghindari penipuan. Syarat barang diketahui cukup dengan mengetahui keberadaan barang tersebut sekalipun tanpa mengetahui jumlahnya, seperti pada transaksi berdasarkan perkiraan atau taksiran. Untuk barang Zimmah (barang yang dihitung dan ditimbang), maka jumlah dan sifat-sifatnya harus diketahui oleh kedua belah pihak. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat, nilai pembayaran, jumlah maupun masanya.
Barang yang tidak ada di tempat akad boleh hukumnya jika diketahui dengan jelas klasifikasiya. Namun jika tidak sesuai dengan informasinya maka menjadi tidak syah, maka pihak yang melakukan akad boleh memilih untuk menerima atau menolak.
Transaksi atas barang yang sulit dan bahaya untuk melihatnya, dibolehkan jika tidak berada di tempat akad, dengan catatan kriteria barang tersebut diketahui menurut kebiasaan, seperti makanan kaleng, obat-obatan dalam tablet, tabung oksigen, buah buahan dalam tanah seperti wortel, bawang yang tidak mungkin dikeluarkan sekaligus karena menyulitkan.
Jika barangnya tidak diketahui dengan pasti, disebut jual beli Jazaf atau taksiran atau perkiraan. Walaupun jumlah barang bisa dikatakan tidak pasti shingga bisa terjadi kerugiaan, akan tetapi biasanya hal tersebut bisa ditolerir oleh kedua belah pihak (misal jual beli obat dengan taksiran).
6. Masa penyerahannya telah ditetapkan.
7. Tempat untuk diserahkan barang telah ditentukan.
Peryaratan ijab dan qabul. Ini adalah ketetapan syariat dalam mengungkapkan secara verbal yang menjadi estandar atas isi hati atau niatnya. Ijab adalah ungkapan awal yang diucapkan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad dan qabul adalah pihak kedua. Tidak ada perbedaan di antara keduanya dalam hal mengijab atau mengqabul. Dikecualikan untuk barang-barang yang kecil yang hanya cukup dengan mua’thaah (saling memberi) seusai dengan adat dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat setempat. Tidak diperlukan kata-kata khusus dan dalam jual beli diharuskan adanya kerelaan yang diujudkan dalam bentuk mengambil dan memberi, atau dengan cara lain yang dapat menunjukkan akan sikap ridha.
Hukum-hukum yang berkenaan dengan syarat jual beli :
Para fuqaha’ mendefinisikan syarat dalam jual beli adalah tindakan salah satu dari kedua pelaku transaksi mengharuskan yang lain disebabkan terjadinya transaksi yang mengandung manfaat untuknya dalam transaksi itu.
Syarat –syarat jual beli ada dua macam :
1. Syarat untuk kebaikan akad. Dengannya akad menjadi kuat. Kemaslahatannya kembali kepada yang menetapkan syarat itu. Hal itu berdasarkan hadits riwayat Jabir ” Nabi saw menjual unta jantannya dan menetakpan syarat beliau diangkut dengannya hingga ke Madinah” (Muttafaq alaih : Al-Bukhari dan muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa diperbolehkan menjual binatang tunggangan dengan syarat menumpang di atas punggungnya hingga tempat tertentu dan dapat diqiyaskan dengan hadits ini hal-hal yang lain.
2. Syarat-syarat yang merusak.
a. Syarat merusak yang membatalkan akad dari prinsipnya. Nabi saw melarang dua akad jual beli dalam satu barang. Seperti ” aku jual barang ini kepada engkau dengan syarat engkau menyewakan rumah kepadaku”. (Ditakhrij dari hadits Abu Hurairah At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).
b. Rusak pada syarat itu sendiri dan tidak membatalkan akad. Seperti penjual menetapkan syarat bahwa pembeli tidak boleh menjual barang dagangannya yang sudah dibeli tersebut. Tuntutan akad adalah kebebasan pembeli secara mutlak untuk bertindak terhadap barang yang sudah ia beli. Rasulullah saw bersabda ”Barang siapa menetapkan syarat yagn tidak ada dalam Kitabullah, syarat itu batal sekalipun seratus macam syara”t (Muttafaq alaih) dari hadits Aisyah : Al-Bukhari dan Muslim).
Hukum –hukum memilih (khiyar) dalam jual beli.
Diantara apa-apa yang disyari’atkan di dalam jual beli berupa pemberian kesempatan memilih kepada orang yang mengadakan akad agar lebih banyak mengetahui barang yang akan dibeli dan melihat kemaslahatan dari transaksi itu. Lebih detail khiyar memilih dijelaskan sebagai berikut:
1. Khiyar majelis, yakni tempat di mana berlangsung jual beli. Sabda Nabi saw : ”Jika dua orang terlibat dalam kegiatan jual beli, bagi keduanya berkesempatan memilih selama keduannya belum berpisah”. (Muttafaq alaih dari hadits Ibnu Umar : Al-Bukhari dan Muslim).
2. Khiyar syarat, yaitu kedua penjual dan pembeli menetapkan syarat untuk khiyar memilih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw : ”kaum muslimin itu dengan syarat- syarat mereka”.
3. Khiyar alghabni, Jika terjadi penipuan dalam jual beli dengan penipuan yang keluar dari kebiasaan, yang merasa dirugikan di antara keduanya diberi hak khiyar antara tetap menahan barang yang dibeli atau mengembalikannya lagi. Hal ini berdasarkan sabda Rasullullah saw: ”tida ada bahaya dan tidak membahayakan”. (Ditakhrij oleh Abu Ya’la dari hadits paman Abu Hurrah Ar Raqsyi).
4. Khiyar At-tadlis, yakni khiyar yang ditetapka karena tindakan yang disebut tadlis yakni menunjukkan barang yang cacat seakan-akan bagus dan utuh. Nabi saw bersabda, ”janganlah kalian tidak memerah onta atau kambing, maka barangsiapa membelinya baginya dua pilihan setelah memerahnya. Jika mau ia tetap memiliki binatang itu, jika mau ia boleh mengembalikan binatang itu dengan satu sha ’korma kering”. (Muttafaq alaih dari hadits Abu Hurairah : Sl-Bukhari dan Muslim).
5. Khiyar Al-’aib, yakni khiyar yang menjadi tetap pada pihak pembeli disebabkan adanya aib/cacat pada barang yang ia beli yang tidak disampaikan oleh penjual atau tidak diketahui oleh penjual.
6. Khiyar at-takhbirb ats–tsaman, yaitu jika menjual barang dagangan dengan harga belinya, lalu ia menyampaikan besarnya harga itu, kemudian terlihat bahwa ia menyampaikan hal itu tidak sesuai dengan kenyataanya.
7. Hak khiyar yang ada karena adanya perselisihan antara pihak pembeli dengan pihak penjual dalam suatu hal.
8. Khiyar yang menjadi hak pemblei jika ia membeli sesuatu dengan dasar penglihatannya yang terdahulu. Ternyata setelah itu ia melihat sifatnya telah berubah.

KLASIFIKASI JUAL BELI

Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yangberbeda-beda. Diantara klasifikasi tersebut adalah:

1. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Obyek Dagangan
a. Jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang.
b. Jual beli ash-sharf  atau money changer , yaitu penukaran uang dengan uang.
c. Jual beli muqayadhah atau barter, yaitu menukar barang dengan barang.

2. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Pembayaran
a. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran secara langsung.
b. Jual beli dengan pembayaran tertunda.
c. Jual beli dengan penyerahan barang tertunda.
d. Jual beli dengan penyerahan barang dan pembayaran sama-sama tertunda. 

3. Klasifikasi Jual Beli dari Sisi Cara Standarisasi Harga
a. Jual beli bargainal 
(tawar-menawar). Yakni jual beli dimana penjual tidakmmeberitahukan besarnya modal dari barang yang dijualnya
b. Jual beli amanah. Yakni jual beli dimana penjual memberitahukan harga modaldari barang jualannya. Dengan dasar jual beli ini, jenis jual beli tersebut terbagilagi menjadi tiga jenis:
·         Jual beli murabahah.Yakni jual beli dengan modal dan keuntungan yangdiketahui.
·         Jual beli wadhi’ah.Yakni jual beli dengan harga di bawah modal dan jumlahkerugian yang diketahui.
·         Jual beli tauliyah . Yakni jual beli dengan menjual barang dalam harga modal,tanpa keuntungan dan kerugian.

c. Jual beli muzayadah 
(lelang). Yakni jual beli dengan cara penjual menawarkanbarang dagangannya, lalu para pembeli saling menawar dengan menambahjumlah pembayaran dari pembeli sebelumnya, lalu si penjual akan menjualdengan harga tertinggi dari para pembeli tersebut.Kebalikan dari jual beli lelang ini adalah jual beli
munaqadhah 
(obral). Yakni sipembeli menawarkan diri untuk membeli barang dengan kriteria tertentu, lalupara penjual berlomba menawarkan dagangannya, kemudian si pembeli akanmembeli dengan harga termurah yang mereka tawarkan. 

RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
Dalam menetapkan rukun jual beli, di antara ulama terjadi perbedaan pendapat.Menurut Ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkanpertukaran barang secara
ridla 
, baik dengan ucapan maupun perbuatan.


Dalam masalah sighat (ijab dan qabul), para ulama fiqh berbeda pendapat, diantaranyaberikut ini:
·         Menurut ulama Syafi’iyah, tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab Qabul)yang diucapkan.
·         Imam Malik berpendapat bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secaradipahami saja.
·         Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut jugadengan aqad bi al-mu’athah yaitu: mengambil atau memberikan dengan tanpaperkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telahdiketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikanuangnya sebagai pembayaran.

Badan Perantara (Samsarah)
Perantara adalah orang yang menjadi penghubung antara pihak penjual dan pembeli agar transaksi jual beli berjalan lancar. Dalam transaksi jual beli adanya badan perantara ini diperbolehkan. Iman Bukhari, Ibnu Sirin, Atha’, Ibrahim, dan Hasan melihat tidak ada masalah dengan adanya perantara ini. Menurut Abbas, ”tidak mengapa, seseorang berkata, ’jual baju ini, jika terjual lebih (dari harga yang diberikan) maka kelebihan itu menjadi hakmu.’” Ibnu Sirin berpendapat, ”Jika seseorang berkata ’jual barang ini dengan harga sekian, jika mendapat keuntungan maka untukmu atau harganya untukku dan kelebihannya untukmu’, hal itu dibolehkan, sebagai mana sabda Rasulullah, ”Transaksi orang muslim itu sesuai dengan syarat-syarat antara mereka” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Hakim dari Abu Hurairah).
IX Lelang (Muzayadah)
Dalam transaksi keuangan Islam, harga ditentukan atas dasar keinginan pembeli dan penjual. Dalam banyak hal, barang akan terjual kepada pembeli yang menawar dengan harga yang tertinggi. Dalam perspektif syariah, transaksi yang melibatkan proses lelang ini disebut sebagai bay` muzayadah, yang diartikan sebagai suatu metode penjualan barang dan/ atau jasa berdasarkan harga penawaran tertinggi.
Pada Bay` muzayadah ini, penjual akan menawarkan barang dengan sejumlah pembeli yang akan bersaing untuk menawarkan harga yang tertinggi. Proses ini berakhir dengan dilakukannya penjualan oleh penjual kepada penawar yang tertinggi dengan terjadinya akad dan pembeli tersebut mengambil barang dari penjual.
Lelang ada dalam Islam dan hukumnya boleh (mubah). Ibnu Abdil Barr berkata,”Sesungguhnya tidaklah haram menjual barang kepada orang yang menambah harga, demikianlah menurut kesepakatan ulama.” (innahu laa yahrumu al-bai’u mimman yaziidu ittifaaqan) (Subulus Salam, Juz III/23).
Dalil bolehnya lelang adalah as-Sunnah. Imam Bukhari telah membuat bab dengan judul Bab Bai’ Al-Muzaayadah dan di dalamnya terdapat hadits Anas bin Malik RA yang juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (Musnad, III/100 & 114), Abu Dawud, no. 1641; an-Nasa`i, VII/259, at-Tirmidzi, hadits no. 1218 (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki Anshar yang datang menemui Nabi SAW dan dia meminta sesuatu kepada Nabi SAW. Nabi SAW bertanya kepadanya,”Apakah di rumahmu tidak ada sesuatu?” Lelaki itu menjawab,”Ada. Dua potong kain, yang satu dikenakan dan yang lain untuk alas duduk, serta cangkir untuk meminum air.” Nabi SAW berkata,”Kalau begitu, bawalah kedua barang itu kepadaku.” Lelaki itu datang membawanya. Nabi SAW bertanya,”Siapa yang mau membeli barang ini?” Salah seorang sahabat beliau menjawab,”Saya mau membelinya dengan harga satu dirham.” Nabi SAW bertanya lagi,”Ada yang mau membelinya dengan harga lebih mahal?” Nabi SAW menawarkannya hingga dua atau tiga kali. Tiba-tiba salah seorang sahabat beliau berkata,”Aku mau membelinya dengan harga dua dirham.” Maka Nabi SAW memberikan dua barang itu kepadanya dan beliau mengambil uang dua dirham itu dan memberikanya kepada lelaki Anshar tersebut. (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Abdullah al-Mushlih & Shalah ash-Shawi, ibid., hal. 111).
Hadits di atas adalah satu dalil di antara dalil-dalil yang membolehkan jual beli lelang (bai’ al-muzaayadah).
Sebagian ulama seperti an-Nakha`i memakruhkan jual beli lelang, dengan dalil hadits dari Sufyan bin Wahab bahwa dia berkata,”Aku mendengar Rasulullah SAW melarang jual beli lelang.” (sami’tu rasulallah SAW nahaa ‘an bai’ al-muzayadah). (HR Al-Bazzar). (Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, Juz II/191).
Namun pendapat itu lemah karena dalam isnad hadits ini terdapat perawi bernama Ibnu Lahi’ah yang dikategorikan sebagai seorang perawi yang lemah (dha`if) (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/23; Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 1045).
X Jual Beli Khusus
1.      Bay’ Taqsith
Taqsith secara bahasa adalah bermakna membagi sesuatu menjadi bagian-bagian tertentu dan terpisah.
Adapun secara istilah, ada beberapa definisi dikalangan para penulis masalah ini yang mungkin bisa didekatkan pengertiannya dalam definisi berikut ini ; Jual beli secara taqsith adalah menjual sesuatu dengan pembayaran yang ditangguhkan, diserahkan dengan pembagian-pembagian tertentu pada waktu yang telah ditetapkan dengan jumlah keseluruhannya yang lebih banyak dari harga kontan.
Contoh : Seseorang membeli mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- dengan membayar pada setiap bulannya sebanyak Rp. 10.000.000,- selama sepuluh bulan. Dimana harga mobil ini secara kontan hanya Rp. 90.000.000,-.
Bay’ Taqsith sama dengan Jual beli kredit atau disebut juga sebagai Al-Bay’ Bitsamanil Ajil atau Al-bay’ ila Ajal. Adapun definisinya adalah jual beli secara cicilan dalam jangka waktu tertentu di mana harga kredit lebih tinggi (bertambah) dari harga cash (naqd). Harga kredit 1 tahun berbeda dengan harga 2 tahun, dan seterusnya.
في البيع بالأجل أو بالتقسيط : أن السلعة اذا كان ثمنها حالا فانه ثمنه أرخص مما لو كان ثمنها أجلا أو مقسطا
Artinya : ”Dalam Jual Beli tangguh atau kredit bahwa suatu barang apabila dibeli secara kontan, harganya lebih murah dari pada jual beli secara tangguh/ kredit.”
Bai Taqsith sangat dibutuhkan masyarakat dan mendatangkan manfaat bagi pembeli & penjual. Konsumen bisa mendapatkan barang yang dibutuhkannya, meskipun ia tidak memiliki uang yang cukup untuk memilikinya secara kontan (bayaran penuh). Aplikasi bay’ taqsith mendatangkan kemudahan (taysir) bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, karena banyak orang tidak mampu menyerahkan harga secara menyeluruh (dengan spot). Tetapi dengan cicilan, ia bisa memanfaatkan dan memiliki barang yang dibutuhkan.
HUKUM JUAL BELI SECARA TAQSITH
Ada dua pendapat di kalangan para ulama tentang hukum jual beli secara taqsith ini, yakni sebagai berikut :
Pendapat Pertama : Bolehnya jual beli secara taqsith. Ini adalah pendapat Jumhur Ulama (kebanyakan ulama) dari kalangan shahabat, tabi’in dan para Imam Ahli Ijtihad -termasuk didalamnya para pengikut fiqh empat madzhab-. Bahkan sebahagian ulama menukil kesepakatan para ulama tentang bolehnya hal ini. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang hukum membeli sekarung gula dan semisalnya dengan harga 150 Riyal SA sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent) dan ia senilai 100 Riyal secara kontan, maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Mu’amalah ini tidaklah mengapa, karena menjual secara kontan berbeda dari menjual secara kredit dan kaum muslimin terus menerus melakukan mu’amalah seperti ini. Ini adalah Ijma’ (kesepakatan) dari mereka tentang bolehnya.”. (Dinukil dari kitab Min Ahkamil Fiqhil Islamy Karya ‘Abdullah Al-Jarullah hal. 57-58 dengan perantara Bai’ut Taqsith karya Hisyam Alu Burgusy).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor kuda yang dia beli dengan harga 180 Dirham, lalu seseorang memintanya dengan harga 300 Dirham dalam jangka waktu (pembayaran) tiga bulan ; apakah hal tersebut halal baginya. Beliau menjawab : “Al-Hamdulillah, Apabila ia membelinya untuk diambil manfaatnya atau untuk ia perdagangkan maka tidaklah mengapa menjualnya sampai suatu waktu (dengan kredit,-pent). [Majmu’ Al-Fatawa 29/501].Dan hukum bolehnya ini juga merupakan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah Saudi Arabia, keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy no. 51 (2/6) dan no. 64 (2/7)[3], kesimpulan dalam AL-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah, Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin, Fatwa Syaikh Sholih Al-Fauzan, Fatwa Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh dan kebanyakan ulama di zaman ini.

Pendapat Kedua : Tidak bolehnya jual beli secara taqsith. Dinukil oleh Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Authar 5/162 (cet. Darul Kutub) dari Zainal ‘Abidin ‘Ali bin Husain dan beberapa orang Syiah. Diantara ulama zaman ini yang berpendapat tentang tidak bolehnya adalah Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahumallah.
DALIL-DALIL SETIAP PENDAPAT
Pendapat Pertama :
Adapun pendapat pertama, para penganutnya mempunyai dalil yang banyak, di antaranya sebagai berikut :Pertama : Asal dalam setiap mu’amalah adalah halal dan boleh. karena tidak ada nash/dalil yang menunjukkan haramnya membuat dua harga pada suatu barang, yaitu harga kontan dan harga kredit lalu penjual dan pembeli melakukan transaksi pada salah satu dari keduanya, maka jual beli dengan cara taqsith adalah halal berdasarkan kaidah/dhobith ini.

Kedua : Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman , artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlangsung atas dasar suka sama-suka di antara kamu”. (QS. An-Nisa` : 29)

Sisi pendalilan : Jual beli dengan cara taqsith adalah transaksi yang berlangsung atas dasar suka sama suka, berarti jual beli secara taqsith ini adalah boleh menurut nash ayat.

Ketiga : Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Siapa yang yang memberi salaf pada korma maka hendaknya memberi salaf pada takaran yang dimaklumi dan timbangan yang dimaklumi sampai waktu yang dimaklumi”. (Lafazh diatas bagi Imam Muslim)

Hadits diatas menunjukkan bolehnya As-Salam atau As-Salaf yaitu transaksi pada suatu barang yang maklum ; jelas sifatnya dan bentuknya, dibayar di depan kepada si penjual dan diambil pada waktu yang telah disepakati. Contoh : Seperti penjual roti yang telah membayar harga 3000 buah roti tertentu kepada pabrik roti dengan perjanjian ia mengambilnya dari pabrik roti sebanyak 100 buah roti setiap harinya selama 30 hari. As-Salam atau As-Salaf ini adalah diperbolehkan dalam syari’at Islam menurut kesepakatan para ulama. Dari uraian diatas, ditarik suatu pendalilan tentang bolehnya jual beli secara Taqsith karena ia merupakan kebalikan dari As-Salam atau As-Salaf. Dan pada keduanya ada kesamaan jenis dari sisi adanya perbedaan antara harga dan barang, yaitu pada As-Salam atau As-Salaf, pembeli menyerahkan harganya kepada penjual dan mengambil barangnya selang beberapa waktu kemudian sesuai dengan perjanjian guna mendapatkan potongan harga semantara jual beli secara taqsith penjual menyerahkan barang kepada pembeli dan dibayar secara berangsur guna mendapat tambahan harga.
keempat : Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim, beliau berkata : “Bariroh datang kepadaku lalu berkata : “Sesungguhnya saya melakukan mukatabah [*] terhadap keluargaku (tuanku,-pent.) dengan sembilan auqiyah, pada tiap tahunnya satu auqiyah[**] maka bantulah saya”. Maka ‘Aisyah berkata : “Kalau keluargamu suka aku akan menyiapkan persiapan sekaligus bagi mereka dan saya membebaskanmu, maka saya akan kerjakan dan hendaknya wala`mu adalah milikku”. Maka ia (Bariroh) pergi kepada keluarganya dan mereka enggan hal tersebut atasnya. Kemudian ia (Bariroh) berkata (kepada Aisyah,pent) : “Saya telah menawarkan hal tersebut pada mereka dan mereka enggan kecuali wala`nya untuk mereka”. Maka hal tersebut didengar oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam lalu beliau bertanya kepadaku maka saya kabarkanlah hal tersebut kepadanya maka beliau bersabda : “Ambillah ia dan bebaskanlah serta syaratkan wala` terhadap mereka karena sesungguhnya wala` itu bagi siapa yang membebaskan”….”  Berkata Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah : “Dan berdasarkan kisah Bariroh yang tsabit (tetap,pasti) dalam Ash-Shohihain, karena Ia (Bariroh) menebus dirinya dari tuannya dengan (harga) sembilan auqiyah pada setiap tahunnya satu auqiyah dan ini adalah jual beli secara taqsith. Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut bahkan beliau menetapkannya dan tidak melarang darinya. Dan tidak ada perbedaan antara harganya semisal dengan (harga) barang tersebut dijual dengannya secara kontan atau lebih dari hal tersebut karena (kelonggaran) waktu” [Fatawa Islamiyah 2/239].Berkata Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh :  “Didalamnya terdapat dalil tentang bolehnya jual beli secara taqsith karena Bariroh menebus dirinya secara taqsith sampai sembilan auqiyah, pada setiap tahun satu auqiyah…”. Dari Syarah Kitabul Buyu’ Bulughul Maram.
تدل هذه الأية على أن البيع المؤجل والزيادة فى الثمن فيه ابتداء لأجل التـأجيل حلال بحكم الشرع
فلو باع شخص سلعة بثمن مؤجل زائد عن ثمنها حالا لجاز ذالك
Ayat ini menunjukkan bahwa jual beli kredit dengan penambahan harga (karena cicilan) adalah halal menurut hukum syariah. Maka, jika seseorang menjual suatu barang dengan harga yang dibayar secara tangguh (cicilan) dimana harganya bertambah dari harga cash (sekarang), maka jual beli itu boleh.(Hlm. 84)
كما لو قال بعتكها بمائة حالة أو بمأئة و عشرين ألى سنة أو مقسطة فيجوز ذالك
Sebagaimana jika sesorang berkata,”Saya menjual barang ini kepadamu seharga 100 cash (saat ini dibayar) atau 120 cicilan setahun (secara kredit), maka hal itu boleh (Hlm. 84).
أما وجه الدلالة فهو نزوله ردا على من شابه بين البيع (المؤجل) بالربا بداعي حصول الزيادة فيهما لقاء الأجل فجواز الزيادة في البيع المؤجل هي سبب جادل به المشركون في أمر الربا و حرمته ذالك أنهم عدوا الزيا دة فى الربا كالزيادة في الثمن بالبيع المؤجل.
والأية نص في التفريق بينهما.والحكم بالحل على البيع وبالحرمة على الربا
Jalan Pemikiran Dalil (Wajah Dilalah) : Bahwa ayat ini turun menolak pandangan orang yang menyamakan jual beli (kredit) dengan riba karena keduanya sama-sama menghasilkan tambahan (return), sebagai kompensai penundaan masa (time). Kebolehan tambahan (return) dalam jual beli kredit adalah unsur yang diperdebatkan orang-orang musyrik dalam masalah riba dan keharamannya. Mereka menganggap tambahan dalam riba sama dengan tambahan (keuntungan) dalam jual beli kredit. Ayat itu menjelaskan perbedaan di antara kedua, jual beli hukumnya halal, riba hukumnya haram (Hlm. 84)
والقول بمساواة البيع للربا تأتي عند زاعمها من حيث أن كلا منهما يأتي بالربا لكن الاول ربح السلعة (العوض) والثاني الزيادة بلا عوض
Pendapat yang menyamakan jual beli dengan riba karena memandang tiap-tiap dari keduanya mendatangkan riba (tambahan). Padahal yang pertama (البيع) adalah keuntungan dari barang (iwadh) sedangkan yang kedua (الربا) adalah tambahan tanpa ‘iwadh (hlm. 84)
تدل هذه الأية على أن البيع المؤجل والزيادة فى الثمن فيه ابتداء لأجل التـأجيل حلال بحكم الشرع
فلو باع شخص سلعة بثمن مؤجل زائد عن ثمنها حالا لجاز ذالك
Ayat ini menunjukkan bahwa jual beli kredit di mana harga bertambah karena penundaan waktu adalah halal menurut hukum syara’. Maka jika seseorang menjual barang dengan harga yang lebih tinggi dari harga cash karena kredit, maka jual beli tersebut boleh.
يجوز البيع بثمن الأجل أو مقسط ولو جعل البائع مقابل الأجل زيادة فى الثمن وبهذا قال جماهير العلماء منهم الأئمة الأربعة وهو قول جماعة من السلف منهم عبدالله بن عباس و سعيد بن المسيب و طاوس بن كيسان والأوزاعى و عطاء وقتادة والزهري والثورى والنخعى والحكم ين عتيبة و حماد بن أبي سليمان وغيرهم
Boleh jual beli kredit, sekalipun penjual menjadikan tambahan harga, sebagai kompensasi penundaan waktu. Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antaranya, Imam mazhab yang empat, juga pendapat jamaah ulama salaf, seperti Abdullah bin Abbas, Sa’id bin Musayyab, Thawus bin Kaisan, Al-Auza’iy, ‘Atha’, Qatadah, Imam Az-Zhuhry, Imam Ast-Taury, An-Nakha’iy, Hakam bin “Utaibah, Hammad bin Abi Sulaiman, dan lain lain. Pendapat Kedua

Adapun penganut pendapat kedua, mereka berdalilkan dengan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Al-Hadits yang pendalilannya bertumpu penuh pada hadits Abu Hurairah dan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash yang dianggap terdapat didalamnya larangan tegas dari jual beli secara taqsith. Hadits-hadits itu adalah :

pertama : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Siapa yang menjual dua dengan penjualan dalam satu transaksi maka baginya (harga,-pent.) yang paling sedikit atau riba”. (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Ibnu Hibban dan lanilla).

Sisi pendalilan : Hadits ini menunjukkan haramnya jual beli secara taqsith dengan adanya penambahan pada harga kredit diatas harga kontan. Dan padanya juga dua penjualan, secara kontan dan kredit pada satu transaksi, sehingga pada hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan yaitu mengambil yang paling sedikit berupa harga kontan atau melakukan riba dengan mengambil harga kredit. Demikianlah hadits ini telah ditafsirkan oleh sebahagian ulama salaf bahwa makna dua penjualan dalam satu transaksi adalah jika seseorang berkata : “Barang ini secara cicil dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”.

Dan dikuatkan pula oleh ucapan Ibnu Mas’ud :  “Transaksi dalam dua penjualan adalah riba”. (Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 5/420 dan Al-Irwa` 5/148/1307).

kedua : Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : “Tidaklah halal pinjaman bersamaan dengan jual beli dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”. (Dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1305-1306).

Sisi pendalilan : Konteks “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi”  ditafsirkan oleh Al-Khaththoby dengan perkataan seseorang : “Saya jual pakaian ini ini secara kontan dengan satu dinar dan secara kredit dengan dua dinar”.


TARJIH

Di antara dua pendapat di atas, yang rajih (terkuat) Insya Allah adalah pendapat pertama, yakni dibolehkannya jual beli secara kredit (taqsith). Hal ini didasarkan atas beberapa alasan, yakni :

  §  Kandungan hadits Abu Hurairah yang digunakan oleh kelompok kedua diatas, tidaklah mencakup masalah jual beli secara taqsith karena seorang penjual –misalnya- bila menetapkan harga barang yang berbeda-beda berdasarkan panjang waktu kredit, lalu datang seorang pembeli dan bersepakat dengan penjual untuk mengambil barang tersebut dengan suatu harga tertentu dan jangka waktu kredit yang telah ditetapkan maka tentunya yang ada hanya satu transaksi ; tidak ada akad transaksi sebelumnya dan tidak pula ada transaksi setelah penjual dan pembeli bersepakat diatas suatu harga.

Karena itu Ibnul Qoyyim berkata : “Dan telah jauh dengan sangat jauh orang yang membawa (pengertian) hadits kepada penjualan dengan 100 secara kredit dan 50 secara kontan, tidak ada disini (dalam jual beli secara taqsith,-pent.) riba, tidak pula jahalah (ketidak jelasan), ghoror, qimar dan tidak (pula) ada sesuatu dari kerusakan. Sesungguhnya ia memberi pilihan antara dua harga yang ia inginkan dan tidaklah ini lebih jauh dari memberikan pilihan kepadanya setelah transaksi selama tiga hari antara mengambil dan membiarkannya”. Baca : I’lamul Muwaqqi’in 3/150.  Ibnul Qayyim rahimahullah beliau menganggap bahwa hadits Abu Hurairah di atas pengertiannya hanyalah terbatas dalam bentuk Bai’ul ‘Inah saja, tidak pada yang lainnya (bukan taqsith).    Adapun§ penafsiran makna dua penjualan dalam satu transaksi dengan perkataan sesorang : “Barang ini secara cicil dengan harga sekian dan secara kontan dengan harga sekian”, ini adalah menyelisihi penafsiran jumhur ulama (kebanyakan ulama).

Berkata Imam At-Tirmidzy setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah : “Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “Dua penjualan dalam satu transaksi adalah (seseorang) berkata : “Saya menjual kepadamu baju ini dengan kontan (senilai) sepuluh dan dengan berangsur (senilai) dua puluh” dan ia tidak berpisah (baca : tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya diatas salah satunya maka itu tidak apa-apa apabila akad berada diatas salah satu dari keduanya. Berkata Imam Asy-Syafi’iy : “Dan dari makna larangan Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dari dua penjualan dalam satu transaksi, seseorang berkata : “Saya menjual rumahku kepadamu dengan (syarat) kamu menjual budakmu kepadaku dengan (harga) begini, kalau budakmu telah wajib untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu” dan ini berpisah (baca : bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya terjadi”.”.

Tersimpul dari uraian At-Tirmidzy diatas bahwa pada makna dua penjualan dalam satu transaksi yang dilarang, ada dua penafsiran :
1.    Penjualan barang dengan harga kredit dan kontan kemudian penjual dan pembeli berpisah tanpa menentukan salah satu dari dua harga. Ini penafsiran yang paling banyak disebut.
2.  
3.    Penjualan barang dengan mengharuskan pembeli untuk menjual suatu barangnya kepada penjual dengan harga yang ia inginkan tanpa mengetahui berapa harga barang itu sebenarnya.

Maka bisa disimpulkan bahwa Konteks larangan “Dan tidak (pula) dua syarat dalam satu transaksi” apapun penafsirannya dengan dua penafsiran diatas, tetap tidak ada kaitannya dengan hukum jual beli secara taqsith.Dan hati ini semakin kokoh berpijak di atas pendapat bolehnya jual beli secara Taqsith karena itu merupakan pendapat kebanyakan ulama seperti, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin telah menukil kesepakatan ulama tentang bolehnya.
Mengapa Jual beli kredit dibolehkan ?
في البيع بالتقسيط تيسير على الناس ولو كان بزيادة على الثمن لأن كثيرا من الناس لا يستطيع بدل الثمن كله مرة واحدة لشراء ما يحتاج اليه
Pada jual beli kredit terdapat kemudahan bagi manusia, sekalipun bertambah harganya, karena banyak orang yang tidak sanggup membayar harga semuanya sekaligus untuk membeli apa yang ia butuhkan.
وأما منفعته للمشتري فهي حصوله على السلعة التي يحتاجها وانتفاعه بها مع أنه لا يملك دفع ثمنها في الحال ولو أنه كلف بدفع ثمنها في الحال لما استطاع شراءها كل حياته
Adapun manfaatnya bagi pembeli ialah dia mendapatkan barang yang ia butuhkan dan memanfaatkannya, padahal ia tidak bisa menyerahkan harganya sekaligus saat itu. Jika ia dibebani untuk menyerahkan harganya semuanya secara cash, niscaya ia tidak sanggup membeli barang itu sepanjang hidupnya (hlm.78)
Ada Ulama yang melarang bay’ taqsith, yaitu Al-Jashshash dari mazhab Hanafi. Alasannya adalah Hadits dari Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda :
من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما او الربا
“Barang siapa yang melakukan jual beli dalam dua jual beli, maka hak penjual adalah harga yang paling rendah, atau (jika tidak), maka riba”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tarmizi. Menurut buku “Al-Muamalah al-Maliyah al-Mushirah fi Dhou-il fiqh wa al-Syariah” tulisan Rawwas Qal’ah Jay, bahwa hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan status haditsnya dha’if (Halaman.79). Berikut ungkapannya:
ولا حجة لهم بهذا الحديث لأنه ضعيف قال في تحفة الأحوذي : ”تفرد محمد بن عمر بهذا اللفظ وقد روي هذا الحديث عن عدة من الصحابة من طرق ليس في واحد منها هذا اللفظ فا الظاهر ان هذة الرواية بهذاللفظ ليست صالحة للاحتجاج
Hadits ini tidak bisa menjadi hujjah (dalil) mereka, karena status haditsnya dha’if. Pengarang kitab hadits “Tuhfah al-Ahwazy” mengatakan, “ Redaksi (lapaz) hadits ini hanya diriwayatkan oleh Muhammad bin Umar sendirian. Sesungguhnya hadis ini diriwayatkan oleh banyak sahabat dari berbagai jalan, namun tidak seorangpun yang menyebutkan lapaz hadits seperti ini. Jelasnya, riwayat hadits dengan bunyi redaksi seperti ini tidak patut menjadi hujjah (dalil syariah). (Muhammad Rawwas Qal’ah, hlm.79-80). Makna Hadits: Seandainya hadits dhaif itu diakui sebagai dalil (sekalipun lemah), pengertiannya adalah sebagai berikut :
كأن يقول البائع : بعتك سلعتي هذه نقدا بمئة
و تقسيطا بمئة و عشرين . فيقول المشتري : اشتريت
ويتفرقان دون أن يتفقا على أي الصفقتين وقع البيع هل على الثمن الحال ام على الثمن التقسيط؟
Seperti seorang penjual berkata,” Saya jual barang saya ini secara cash 100 dan kredit 120”. Selanjutnya pembeli berkata, “Saya beli”. Mereka berdua berpisah di mana belum disepakati harga mana yang dipilih dalam dua alternatif jual beli tersebut, apakah jual beli secara cash atau kredit (Muhammad Rawwas, halaman 79). Penjelasan Muhammad Qal’ah tersebut sejalan dengan ucapan Ali bin Abi Thalib
من ساوم بثمنين احداهما عاجل والأخر نظرة
فليسم احداهما قبل صفقة
“Siapa saja yang menawar dengan dua harga, salah satunya kontan dan lainnya kredit, maka hendaknya dia memilih salah satunya. Sebelum berlangsung kesepakatan” (Buku Al-Siyasah al-Iqtishodiyah al-Mutsla, Abdur Rahman Al-Maliki)
Perbedaan harga cicilan dari harga kontan, bukan termasuk riba. Ia adalah keuntungan dalam jual beli barang sebagai kompensasi tertahannya hak penjual dalam jangka waktu tertentu.
Jika harga cash harus sama dengan harga kredit misalnya, sebuah rumah berharga Rp 300 juta cash dan harga kredit (10 tahun) juga Rp 300.juta,, maka hal itu tentu tidak logis, tidak rasional dan tidak adil. Tidak seorangpun penjual mau melakukan itu, karena hal itu merugikannya.
Jadi perbedaan harga cash dan kredit adalah suatu kebolehan dan konsumen pun mendapatkan kemudahan mendapatkan barang yang dibutuhkannya meskipun uangnya jauh dari cukup.
الحاجة قد تنزل منزلة الضرورة
Kebutuhan terkadang menempatai posisi dharurah (kebutuhan primer) Jual Beli rumah/kenderaan secara kredit merupakan kebutuhan yang sangat penting (hajiyat), Maka ia dibenarkan dalam syariah. Jika seseorang membayar secara cash (naqd) saat itu, niscaya ia tidak akan pernah memiliki rumah sendiri seumur hidupnya. Sementara jika penjual diharapkan menjual rumah dengan harga yang“sama harga cash dan kredit”, niscaya penjual tidak mau
وأما منفعته للمشتري فهي حصوله على السلعة التي يحتاجها وانتفاعه بها مع أنه لا يملك دفع ثمنها في الحال ولو أنه كلف بدفع ثمنها في الحال لما استطاع شراءها كل حياته
Adapun manfaatnya bagi pembeli ialah dia mendapatkan barang yang ia butuhkan dan memanfaatkannya, padahal ia tidak bisa menyerahkan harganya sekaligus saat itu. Jika ia dibebani untuk menyerahkan harganya semuanya secara cash, niscaya ia tidak sanggup membeli barang itu sepanjang hidupnya (hlm.78)
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Lisanul‘Arab,volVII/377-378)
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259).
Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa’:29).
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:
1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.
2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.
3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72).
2. Jual Beli Wafa’
Bai` Wafa` adalah suatu transaksi (akad) jual-beli dimana penjual mengatakan kepada pembeli ‘saya jual barang ini dengan cara saya berhutang kepadamu yang hutangnya engkau berikan padaku dengan kesepakatan (janji) jika saya telah melunasi hutang tersebut maka barang itu kembali jadi milikku lagi.’ (Al Jurjani Ali bin Muhammad bin Ali, Kitab At Ta`rifaat, p. 69.)
Definisi Bay’ Wafa’ Menurut Kitab Fiqh Riba Dr.Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, hlm 537.
أن يبيعه العين بألف مثلا على أنه اذا رد عليه الثمن رد عليه العين المبيعة
Seseorang menjual sebuah benda seharga 1000 dengan syarat jika penjual itu mengembalikan uangnya (harganya), maka pembeli tersebut mengembalikan benda yang dibelinya itu kepada penjual semula. Menurut Ibnul `Abidin, Bay` Al Wafa` adalah: Suatu akad dimana seorang yang membutuhkan uang menjual barang kepada seseorang yang memiliki uang cash. Barang yang dijual tersebut tidak dapat dipindah-pindah (real estate/property/‘iqar) dengan kesepakatan kapan ia dapat mengembalikan harga barang tersebut maka ia dapat meminta kembali barang itu. (Ibnul `Abidin, Raddul Muhtar, vol.iv/p.257)
Adapun definisi jual beli wafa’ menurut beberapa pendapat sebagai berikut :
Definisi menurut Fiqh Sunnah
seorang yang membutuhkan uang menjual real estate/real property (barang yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti; rumah) dengan kesepakatan jika ia dapat melunasi (mengembalikan) harga tersebut maka ia dapat mengambil (memiliki) kembali barang itu. ( Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunnah, vol.iii / p.166 )
Definisi Yakan Zuhdi
Bai` Wafa` adalah: Suatu akad jual beli yang mana pembeli berkomitmen setelah sempurna akad bai` untuk mengembalikan barang yang dibelinya kepada penjualnya sebagai ganti pengembalian harga barang tersebut. (Yakan Zuhdi, `Aqdul Bai`, p.131)
Definisi Majallah al-Ahkam al-’adliyah Turki Usmani
Bay’ al-wafa’ is a contract whereby the owner of an estate (house or land) sells it, with a condition that he will have it back once he returns its price to the buyer (See Articles 118 and 396-403 of Majallat al-Ahkam al-Adliyah).
Definisi Mustafa Ahmad Zarqa
Mustafa Ahmad Zarqa mendefinisilan, Bay wafa ialah. “:Dua jual beli yang dilakukan oleh dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba”.
Tenggang waktu pembelian kembali dapat terjadi 1 tahun atau 2 tahun.
Nama-nama Bay’ wafa
Pada awal perkembangannya di Syiria, bay’ wafa’ disebut juga bay itha’ah
Di Mesir dinamakan Bay al-Amanah
Ulama Syafiiyah menyebutnya bay ‘uhdah dan bay ma’ad
Ulama Hanabilah menyebutnya bay amanah
Hanfiyah menyebutnya selain bay wafa, juga bay jaiz (artinya jual beli dibolehkan karena bersih dari riba). Innu Abidin Radd al-Mukhtar, Jilid 4, hlm. 246.
Asset (obyek akad) bay’ wafa’
Asset yang dijual dalam bay’ wafa’ biasanya rumah (property), sawah, kebun (benda-benda ‘iqar = benda yang tidak bergerak). Misalnya, Ahmad membutuhkan uang untuk suatu keperluan, maka ia menjual kebun kurmanya seluas 10 hektar kepada seseorang dengan harga 500 dinar dalam waktu dua tahun. Keduanya sepakat, jika waktu sudah berakhir, maka Ahmad membeli kembali kebun kurmanya seharga penjualan semula, yaitu Rp 500 dinar. Oleh karena akad yang digunakan adalah akad jual beli, maka pembeli boleh memanfaatkan (menikmati) hasil kebun tersebut, sehingga kebun itu mendatangkan keuntungan baginya, Tetapi kebun tersebut tidak boleh dijual kepada orang lain.
Berdasarkan konsep jual beli wafa tersebut, jelas bahwa bay wafa ini berbeda dengan rahn (gadai), karena rahn adaah bentuk gadaian (jaminan hutang). Sementara barang yang digadaikan tidak boleh dimanfaatkan murtahin (pemberi hutang/gadai), kecuali jaminan itu berupa hewan tunggangan. Jika pemberi hutang memanfaatkan barang tersebut, maka praktik itu tergolong riba, sesuai hadits Nab Saw. Setiap pinjaman di mana pemberi hutang menarik manfaat dari hutang tersebut, maka ia termasuk riba.
Dalam bay’ wafa, status asset yang dijual bukanlah borg (gadaian), karena bay’ wafa adalah bentuk jual beli, sehingga asset yang dibeli pembeli (buyer) menjadi miliknya, makanya pembeli dengan bebas dapat memanfaatkannya dan menikmati hasilnya. Cuman ia tidak boleh menjual asset itu kepada orang lain. Hal ini disebut bay’ maushufah biz zimmah, artinya, jual beli yang disifati dengan tanggungan menjual kembali kepada penjual semula, yakni pembeli berkewajiban menjual kembali asset itu kepada penjual semula.
Perbedaan Bay wafa’ dengan gadai (rahn).
No
Rahn
Bay’ wafa
1
Pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang dibeli
Pembeli sepenuhnya memiliki barang yang dibeli, tetapi mausufah biz zimmah
2
Barang gadaian tidak boleh dimanfaatkan penerima gadai, kecuali hewan kenderaan dan atau izin pemilik
Barang yang sudah dibeli bebas dimanfaatkan pembeli selama jangka waktu yang disepakati
3
Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang gadaian menjadi tanggung jawab pemilik barang
Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang menjadi tanggung jawab pembeli
4
Status asset tetap milik yang menggadaikan
Status asset menjadi milik pembeli selama jangka waktu yang disepakati
5
Jika barang gadaian rusak menjadi tanggung jawab murtahin (penerima gadaian), baik rusak kecil atau besar
Jika barang rusak sedikit, akad tetap berlangsung, kecuali rusak parah atau rusak total.
Persamaan Rahn dan Bay’ Wafa
No
Persamaan
1
Kedua belah pihak sama-sama tidak boleh memindah tangankan barang itu kepada pihak ketiga
2
Baik rahn maupun bay wafa, pihak I (penjual/penggadai) sama-sama mendapatkan uang dengan menyerahkan barang
3
Jika terjadi kerusakan barang, maka kerusakan itu ditanggung murtahin dan pembeli, kecuali yang rusak sedikit (sesuai ‘urf)
4
Ketika hutang (uang penjualan) dikembalikan kepada pembeli (pada saat jatuh tempo) maka pembeli wajib memberikan barang kepada penjual semula
Manfaat bay’ wafa’
Menghindarkan masyarakat dari pinjaman riba dan Sebagai sarana tolong menolong antara pemilik dana dengan orang yang memerlukan dana.
Sejarah Bay’ Wafa
Menurut Abu Zahroh, tokoh ulama Mesir kontemporer yang terkemuka, Bay’ wafa sebagai praktik muamalat muncul di Asia Tengah (Bukhara dan Balkhan) pada pertengahan abad kelima Hijriyah dan selanjutnya merambat ke Timur Tengah. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa, bay’ wafa baru mendapatkan justifikasi para ulama Hanafi setelah bay wafa menjadi ‘urf dalam masyarakat Bukhara dan Balkhan, Jadi proses penerimaaannya dalam hukum syariah memakan waktu cukup lama .
Munculnya bay’ wafa’ disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberikan hutang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapatkan imbalan apapun. Hal ini menyulitkan masyarakat yang membutuhkan uang cash. Kondisi ini mendesak mereka untuk menciptakan akad tersendiri, sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang pemilik dana pun terealisasi. Jalan keluar yang mereka ciptakan adalah bay’ wafa’. (Muhammad Abu Zahroh, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah,Mesir dar al-Fikti al-’Araby, hlm. 243)
Menurut Anas Zarqo, transaksi bay’ wafa dibutuhkan masyarakat, karena dengan jual beli ini, keperluan masyarakat yang membutuhkan uang terpenuhi, dan pada saat yang sama mereka terhindar dari riba. Ulama Hanafiyah membolehkan wafa’ ini didasarkan pada dalil istihsan ‘urfi, yakni istihsan karena praktik itu telah menjadi ‘urf dalam masyarakat serta jual beli ini memang dibutuhkan masyarakat (hajiyat). Oleh karena bay’ wafa telah menjadi urf dan diterima baik di tengah masyarakat, maka pemerintahan Turki Usmani melalui Majallah Ahkam al-Adliyah, pada tahun 1876 M, memamasukkan bay’ wafa dalam Kodifikasi Undang-Undang Turki tersebut.
Bay’ Wafa dalam Undang-Undang
Selanjutnya, Lebanon dalam Undang-undang Qonun Milkiyah Libanon melegalkan konsep Bay` Al Wafa` untuk memberi kesempatan bagi peminjam uang (penjual) mengambil keuntungan dengan cara benar dan memberi kesempatan bagi yang meminjamkan uang (selaku pembeli) untuk dapat memanfaatkan barang yang dibelinya serta memenuhi keinginan pembeli untuk memiliki assetnya kembali setelah beberapa saat masa sewa. (Yakan Zuhdi, `Aqdul Bai`, p.132). Konsep bay’ wafa selanjutnya merambah ke Mesir. Pada tahun 1948 Mesir menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan UU ini mengakui secara sah bay’ wafa’, yang dicantumkan pada pasal 430 Undang-Undang tersebut. Demikian pula dalam kitab Undang-Undang Perdata Syiria (Qanun Madany al-Sury), bay’ wafa’ dicantumkan pada pasal 433. (Mustafa Ahmad Zarqa. Syarah Qanun Al-Sury : Al-”Uqud al-Musammah, Damaskus Dar Kitab, 1968), hlm.23).
Hukum Bay’ wafa’ menurut Ulama
Hanafiyah membolehkannya dan beberapa negara telah mengakui/ memasukkannya dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon. Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah tidak setuju dengan kebolehan bay’ wafa’.
Dasar atau dalil Syafiiyah dan Malikiyah ialah ada 2 :
1. Berpegang pada kaedah :
“Yang dipandang dalam akad-akad adalah maksud dan tujuan akad, bukan lapaz formal”.
2. Dalil Sadd al-Zari’ah, yaitu untuk mencegah terjadinya riba
Aplikasi Bay’ wafa/ bay istighlal di Bank Islam
Tahap 1. Pemilik menjual rumahnya kepada bank dengan harga tertentu
Tahap 2. Bank menyewakan/mengontrakkan rumah yang dibeli itu kepada pemilik tadi untuk jangka waktu tertentu.
Tahap 3. Setelah masa sewa/kontrak selesai, pemilik pertama akan membeli kembali rumahnya dari bank.
Celah Profitabilitas Bank Islam:
1. Tingkat sewa pada jangka waktu tertentu
2. Harga rumah yang lebih tinggi pada saat berakhirnya akad.
Dari bay’ wafa ke bay’ istighlal
1. Pada perkembangan selanjutnya bay’ wafa berkembang menjadi bay’ Istighlal
2. Bay’ istighlal ini hampir sama dengan Bay’ Wafa’, namun pada Bay Istighlal, benda yang dijual tersebut disewa kembali oleh penjual.
3. Bay’ Istighlal ini telah dicantumkan pada Kitab Undang-Undang Perdata Turki (Majallah al-Ahkam al-’adliyah, pasal 119.
Definisi Bay Istighlal
و هو أن تباع العين بيع الوفاء علي أن تستأجر البائع المبيع أي أن المشتري ينتفع من المبيع باجارته للبائع نفسه
Yaitu barang dijual secara bay’ wafa, selanjutnya penjual menyewa kembali barang tersebut. Artinya, pembeli mengambil manfaat dari barang tersebut dengan menyewakannya kepada penjual sendiri (Kitab Fiqh Riba, Abdul Azhim Jalaluddin Abu Zaid, Beirut Muassah ar-Risalah, 2004, hlm 540). ”This transaction of sale and leaseback is similar to Bay’ al-wafa’ contract or bay’ al-istighlal which can be considered as a form of Bay’ al-wafa’ contract, allowed by some fuqaha’, but not by Majma’ al-Fiqh al-Islami in Jeddah in 1412AH (1992).
Rumusan Definisi Bay Istighlal Menurut Majallah al-Ahkam al-’Adliyah
Pasal 119
Jual beli istighlal ialah jual beli wafa’ dengan syarat bahwa si penjual menyewa kembali barang yang dijualnya dari pembeli.
Contoh : Si A menjual rumah kepada si B dengan harga 1 milyar rupiah, kemudian si A menyewa rumah itu kembali dengan harga Rp 80. Juta untuk jangka waktu satu tahun.
Sukuk dengan konsep Bay’ Istighlal
Berdasarkan rumusan konsep bay istighlal, maka sukuk (obligasi syariah) dapat menggunakan tersebut dalam penerbitan SBSN
Konsep sukuk ijarah yang dikembangkan saat ini tidak lain adalah Bay’ Istighlal, yaitu bay’ wafa’ yang disertai ijarah di dalamnya.
Sukuk Bay Istighlal
Obligasi dengan Bay Istighlal (tanpa SPV)
1. Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Sekarang asset menjadi milik Investor. Selanjutnya pemerintah menyewa (ijarah) asset itu kpd investor yang dibayar setiap 3 bulan
3. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tsb.
Para ahli ekonomi saat ini menyebut produk ini dengan Sukuk ijarah. Padahal menurut konsep fiqh muamalah namanya adalah Bay Istighlal.
Bay Istighlal (Obligasi Ijarah)
Pemerintah menjual asset kepada Investor dengan janji akan dibeli kembali pada 10 tahun mendatang
2. Dana Investor masuk ke pemerintah
3. Pemerintah sbg issuer (penerbit sukuk) menyerahkan sukuk kepada investor
4. Sekarang asset menjadi milik Investor secara syirkah, Dalam masa 10 tahun, pemerintah menyewa (ijarah) asset tersebut kepada investor yang dibayar setiap 3 bulan sekali.
5. Setelah 10 tahun, pemerintah membeli kembali asset tersebut.
Bay wafa dalam Majallah al-Ahkam al-’adliyah
Pasal 116 :
Dalam hal suatu jual beli yang tergantung pada hak penebusan kembali, maka penjual bisa mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan meminta kembali barangnya. Sama halnya pembeli bisa mengembalikan barang tersebut dan meinta uangnya kembali seharga barang itu. (jika telah jatuh tempo)
Berdasarkan definisi tersebut, harga pembelian kembali oleh penjual harus sama dengan harga penjualan pertama. Jika terjadi kelebihan, maka jual beli tersebut tergolong jual beli al’’inah yang dilarang dalam Islam.
Pasal 397
Suatu barang julan yang tergantung pada hak penebusan, maka barang itu tidak boleh dijual kepada orang lain, baik oleh penjual maupun oleh pembeli
Pasal 398
Apabila disyaratkan dalam jual beli wafa’, bahwa sebagian keuntungan dari barang yang terjual diperuntukkan bagi pembeli, maka persyaratan tersebut adalah sah.
Contoh : Kedua pihak sepakat bahwa hasil kebun sawit dibagi (sesuai nisbah yang disepakati) antara penjual dan pembeli, maka akad itu sah dilaksanakan
Pasal 399
Jika nilai barang yang dijual sama dengan jumlah hutang dan kemudian barang tersebut rusak ketika berada di tangan pembeli, maka hutang yang dibuat menjadi lunas.
Contoh harga rumah yang dijual sebesar Rp 300.000.000,-. Dan harga ini sesuai dengan nilai riil rumah tersebut, (harga pasar). Kemudian rumah tersebut rusak di tangan pembeli, maka si pembeli tidak perlu menebus barangnya. Dengan kata lain jika uang sebesar Rp 300 juta disebut sebagai hutang, maka hutang tersebut menjadi lunas
Pasal 400
Jika nilai barang yang dijual secara bay wafa tersebut lebih kecil dari hutang dan kemudian rusak (hancur) ketika berada di tangan npembeli, maka hutang menjadi hapus senilai barang tersebut. (Pembeli bisa menuntut sejumlah uang kekurangannya dari penjual).
Pasal 401
Jika nilai barang yang dijual lebih besar dari hutang dan hancur di tangan pembeli, maka sejumlah uang yang setara dengan besarnya hutang diambil dari nilai barang. Jika pembeli telah membuat kesalahan, maka ia harus mengganti kerugian sesuai dengan kesalahannya. Jika ia tidak melakukan kesalahan dan barang itu telah hancur, maka pembeli tidak diwajibkan mengganti kerugian.
Pasal 402
· Jika salah seorang dari kedua pihak meninggal dunia, maka hak pembatalannya dialihkan kepada ahli waris dengan cara pewarisan. Berdasarkan rumusan definisi dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada bay wafa’ terlihat bahwa bay wafa’ ini merupakan gabungan (kombinasi) antara jual beli dan rahn. Bay wafa berbentuk rahn, karena pihak pertama memiliki hak penebusan barangnya dan pihak kedua tidak boleh menjualnya kepada pihak lain. Disebut jual beli, karena akadnya berbentuk jual beli dan barang yang dijual dapat dimanfaatkan dan hasilnya dapat dinikmati penjual selaku pihak kedua.
· Oleh karena bay wafa merupakan jual beli, maka ketika tiba masa jatuh tempo (misalnya setelah1 tahun), pembeli (pihak II) menjual kembali barang tersebut kepada penjual selaku pihak I. Jadi, dalam kasus ini terjadi dua kali jual beli. Jual belinya disebut Bay maushufah biz-zimmah (jual beli yang disifati dengan tanggung jawab (kewajiban) menjual kembali kepada pihak I (penjual).
Apakah bay’ wafa’ tergolong Gharar ?
Dari perspektif studi akad, kelihatannya pada bay wafa terdapat dua bentuk akad, yakni jual beli dan gadai. Lalu apakah bay wafa ini tergolong gharar karena akadnya tidak jelas, apakah jual beli atau rahn ? Praktik ini dibolehkan berdasarkan ‘urf dan istihsan.
Akadnya bukan jual beli murni dan juga bukan rahn murni, tetapi kombinasi keduanya. Bay wafa’ bukan gharar, tetapi sebuah kontrak baru yang hak/kewajiban para pihak cukup jelas. Demikian pula status asset yang dijadikan obyek dalam kontrak ini sangat jelas. Analogikan kepada Sewa-beli pada leasing?
Jika cara berpikir kita atau ulama masa lampau (berijtihad) dalam kasus ini, sempit, dan mencocok-cocokkan saja konsep “baru” ini dengan jual beli atau rahn atau akad-akad yang lain, maka jual beli bisa mengandung gharar, karena tidak jelas apakah akadnya jual beli atau rahn. Cara berijtihad seperti itu jelas tidak tepat, karena akad-akad bentuk baru selalu muncul dalam masyarakat. Jadi akad tersebut tidak harus sama dengan jual beli murni atau rahn murni atau juga ijarah murni.
Kasus munculnya akad bentuk baru saat ini antara lain adalah sewa-beli (lease and purchase) dalam lembaga leasing. Adiwarman Karim dalam buku Bank Islam, memandangnya gharar dan haram, karena akadnya tidak jelas apakah sewa atau jual beli dan proses kepemilikan menjadi kabur. Ijtihad seperti itu dikarenakan metodenya mencocok-cocokkan suatu akad baru dengan akad-akad fiqh klasik. Ketika di dalamnya terdapat ketidakjelasan apakah jual beli atau sewa, maka lantas divonis gharar.
Dalam ijtihad di bidang muamalah diperlukan ilmu falsafah tasyri’ fil muamalah dan ushul fiqh yang komprehensif. Padahal akad sewa beli (bay al-takjiri) tersebut adalah bentuk akad baru, sebagai kombinasi ijarah dan jual beli.
Mengenai proses kepemilikan dan hak-hak yang melekat pada kontrak itu disesuaikan dengan penjanjian para pihak. Misalnya jika terjadi kerusakan asset, dapat disepakati, ditanggung oleh nasabah. Status kepemilikan asset dapat juga disepakati dalam klausul akad. Bahwa asset tersebut tetap menjadi milik perusahaan leasing, sepanjang masa pembayaran sewa belum lunas. Jika cicilan sewa telah lunas, maka otomatis asset tersebut menjadi milik nasabah, tanpa membuat akad baru, tetapi cukup dibunyikan pada akad pertama. Redaksinya bisa berbunyi, jika cicilan sewa telah lunas dalam jangka waktu tertentu, maka asset tersebut menjadi milik nasabah dengan beli.
Kalau metode ijtihad seperti itu yang dilaksanakan, maka para ahli ekonomi islam, akan kesulitan menemukan nama akad konsinyasi saat ini, apakah wakalah, wadiah atau jual beli. Ketika tidak ada yang tepat, lalu dikatakan gharar. Metode seperti ini jelas sangat tidak tepat. Jadi akadnya tidak murni jual beli atau wakalah atau wadi’ah. Tetapi bisa gabungan antara berbagai akad. Jika disebut jual beli tidak tepat sepenuhnya, karena barang bisa tidak jadi dibeli pedagang. Disebut titipan, ternyata barang tersebut ditip untuk dijual. Disebutkan wakalah untuk menjual, ternyata kadang-kadang wakalah untuk menjual tidak terlaksana. Jadi nama akadnya ya konsinyasi, sebuah bentuk baru akad dalam kegiatan perdagangan. Demikian juga akad waralaba (franchising) yang banyak diterapkan saat ini.
3. Bay’ Muzayadah
Ba’i Muzayadah atau Lelang didasarkan pada hadits berikut :
عن أنس ر ض قال باع النبي ص م حلسا و قدحا قال من يشتري هذ الحلس و القدح فقال رجل أخذتهما بدرهم فقال النبي من يزيد فأعطا ه رجل درهمين فباعهما منه (رواه الترمذي)
Dari Anas ra, ia berkata, Rasulullah Saw menjual sebuah pelana. Dan sebuah mangkok air dengan berkata, “Siapa yang mau membeli Pelana dan mangkok ini’?. Seseorang menyahut, “Aku bersedia membelinya seharga satu dirham, Lalu Nabi berkata lagi. Siapa yang berani menambahi? Maka seorang laki-laki lain bersedia membeli dua dirham, maka Nabi mnjual kedua bejana itu kepadanya (H.R.Tarmizi).
Berdasarkan hadits tersebut, maka jual beli lelang dibolehkan dalam Islam asalkan dilaksanakan dengan transparan, baik lelang terbuka maupun tertutup
Lelang tertutup, harga dituliskan di kertas atau dalam amplop di mana harga tersebut tidak diketahui calon pembeli lainnya
4. Bay’ al-’Urbun
Jual Beli ‘Arabun atau Uang Muka/Persekot عربن atau عربان bisa dibaca 4 macam:
Fathah ‘ain dan ra, = ‘arabun (ini paling fasih)
Dhammah ain dan sukun ra = ‘urbun
Dhammah ‘ain, sukun ra, fathah ba = ‘urban
Fathah ‘ain, ra dan ba = ‘araban
Bai’ Arabun ialah : Seseorang membeli sesuatu dengan membayar harga panjar/persekot/’arabun kepada penjual. Jika calon pembeli mengurungkannya, maka persekot hangus dan menjadi hibah kepada penjual. Jika jual beli diteruskan, maka harga persekot merupakan bagian dari harga beli.
Perbedaan Ulama
Para ulama ahli fiqh berselisih pendapat dalam menghukumi jual beli urban. Mereka yang melarang adalah madzhab Hanafi, Maliki,Syafi’i, Syiah Zaidiyah, Abu al khitab dari madzhab Hambali, dan juga diriwayatkan tentang pelarangan urbun dari Ibnu Abbas serta Hasan. Adapun mereka yang membolehkan adalah Imam Ahmad yang telah diriwayatkan akan pembolehannya dari Umar serta anaknya, sebagian golongan tabi’in di antaranya adalah Mujahid,Ibn Sirin, Nafi’Ibn Abdul Harist,serta Zaid Ibn Aslam.
Menurut Ahmad bin Hanbal, “Jual beli ini dibolehkan”. Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abdul Razzaq dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah saw ditanya tentang ‘arabun di dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya”
Dalil Hadits lainnya :
Bahwa Zaid bin Aslam membelikan Umar ra rumah tahanan dari Sofyan bin Ummayyah dengan persekot 400 dirham, sedangkan harga rumah tahanan itu 4000 dirham. Jika nanti Umar ridha, maka jual beli diteruskan (dan harga disempurnakan). Apabila tidak ridha maka bagi Sofyan 400 dirham tersebut. Hadits ini diakui Imam Ahmad statusnya dha’if.
Menurut Jumhur selain Hanabilah, jual beli ini dilarang dan hukumnya tidak sah, karena bisa merugikan para pihak dan sifatnya spekulatif serta mengandung uncertainty (gharar) ; jual beli bisa jadi, bisa tidak. Dalilnya hadits Nabi Saw:
نهى رسول الله صلعم بيع العربان (ألامام مالك عن عمر بن شعيب)
“Rasul saw melarang jual beli ‘arabun” .(HR.Imam Malik dari ‘Amar bin Syu’aib, Subulus Salam, Juz III, hlm.17).
Keterangan kualitas hadits
Hadits larangan tersebut statusnya munqathi’, di dalamnya ada seorang perawi tidak bernama. Di dalam satu riwayat memang ada disebutkan namanya tetapi statusnya dha’if, karena rawinya banyak dinilai negatif oleh banyak orang (Wahbah Az-Zuhaily dan Subulus Salam).
Ini jual beli yang di dalamnya ada khiyar bagi pembeli. Ia bisa meneruskan atau menggagalkan jual beli. Sebagian ulama Hanafiyah mewajibkan batasan waktu menunggu bagi penjual.
Jika jual beli gagal, maka persekot menjadi hak calon penjual sebagai kompensasi dari masa menunggu, karena ia telah kehilangan kesempatan untuk menjual barang itu kepada orang lain, jika ada orang yang mau membeli.
Ibn Rusyd mengatakan: “…. segala transaksi gharar adalah dilarang dan juga Rasulullah Saw. telah melarang jual beli urban”, (Bidayatul Mujtahid)
Ibnu Rusydi menambahkan: “Bentuk-bentuk gharar dilarang karena dapat membatalkan sahnya akad. Gharar ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam. Pertama: dari segi akad, kedua: Dua harga pada satu akad (shafqah fi safqatain). Ketiga adalah dimensi waktu yang menyertai akad dan harga.
Adapun gharar dalam akad adalah seperti larangan Nabi Saw. atas jual beli dua harga dan jual beli urban. Unsur gharar dalam urban karena tidak jelas apakah jual beli terjadi atau tidak.
Unsur Gharar dalam Jual beli urbun adalah Pandangan Ibnu Rusydi
Dalam kitab bidayatu al mujtahid dikatakan, bahwasanya jumhur telah melarang jual beli urban dikarenakan adanya unsur gharar dan risiko serta memakan harta tanpa adanya’iwadh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan syariah. Unsur gharar dalam jual beli urban cukup jelas, yaitu karena masing-masing pihak-baik penjual ataupun pembeli-tidak mengetahui apakah trasaksi jual beli (yang telah disepakati) dapat berlangsung secara sempurna atau tidak.
Kesimpulan tentang Jual beli ‘Arabun
Jual beli ‘Arabun dibolehkan asalkan masanya dibatasi dengan jelas. Besar persekot sesuai dengan adat kebiasaan (‘urf). Prinsipnya tidak ada yang terzalimi dan didasarkan ‘an taradhin. Hadits yang melarang ‘arabun ternyata dha’if. Ada praktek ‘arabun di masa Rasul Saw yang dilegitimasi langsung oleh Nabi Muhammad Saw
Pada kasus jual beli ‘urbun sesungguhnya belum terjadi jual beli secara sempurna. Pembeli hanya baru membayar uang muka (persekot/DP). Padanya tidak terdapat gharar karena penjanjiannya sangat jelas. Jika pada waktu tertentu calon pembeli tidak jadi melunasi pembayaran jual beli, maka jual beli gagal dilaksanakan, bukan jual beli dibatalkan, karena dengan persekot jual beli belum terjadi secara sempurna. Sebaliknya, jika calon pembeli jadi membeli barang tersebut dan dilakukan pembayaran, barulah terjadi jual beli secara sempurna, di mana harga persekot menjadi bagian dari harga barang.
Dalil ‘Uruf (praktek arabun telah menjadi kebiasaan), dan dibutuhkan masyarakat, maka ia dibenarkan, sesuai dengan kaedah :
الثابت بالعرف كالثابت بالشرع
Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan Sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (syari’ah) Selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah
5. Bay’ Mu’athah
Jual Beli Mu’athah
Yakni jual beli tanpa ada ucapan ijab dan qabul secara lisan
Jual beli mu’atah ini sering terjadi di Mal, swalayan atau super market
Jual beli ini dibolehkan berdasarkan dalil istihsan dan urf. (Al-istihsan al-’urf)
6. Bay’ Fudhuli
Bay’ Fudhuli adalah jika seorang menjual sesuatu tanpa ada izin dari yang punya barang. Menurut Syafi’iyah jual beli tidak sah, sedangkan Menurut Hanafiyah Jual beli ini hukumnya sah jika pemilik barang mengizinkan pasca transaski. Jika tidak,maka tidak.(Wa illa, Fa la).
7. Talaqqi Rukban
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa ”Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar” (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari). Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang. Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an Talaqqy ar-Rukban, No hadits 2162 hlm 38.
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.
8. Penimbun Dilaknat
Rasulullah s.a.w. melarang menimbun dengan ungkapan yang sangat keras dalam sabdanya, “Barangsiapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya.” (Riwayat Ahmad, Hakim, Ibnu Abu Syaibah dan Bazzar) Dan sabdanya pula:
“Tidak akan menimbun kecuali orang berbuat dosa.” (Riwayat Muslim)
Perkataan khathiun (orang yang berbuat dosa) bukan kata yang ringan. Perkataan ini yang dibawakan oleh al-Quran untuk mensifati orang-orang yang sombong dan angkuh, seperti Fir’aun, Haaman dan konco-konconya. Al-Quran itu mengatakan:
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haaman dan bala tenteranya, adalah orang-orang yang berbuat salah/dosa.” (al-Qashash:8)
Rasulullah s.a.w. menegaskan tentang kepribadian dan ananiyah orang yang suka menimbun itu sebagai berikut:
“Sejelek-jelek manusia ialah orang yang suka menimbun; jika dia mendengar harga murah, merasa kecewa; dan jika mendengar harga naik, merasa gembira.” (hadis ini dibawakan oleh Razin dalam Jami’nya)
Dan sabdanya pula: “Saudagar itu diberi rezeki, sedang yang menimbun dilaknat.” (Riwayat Ibnu Majah dan Hakim)
JUAL  BELI YANG DILARANG :
1.Jual Beli Ketika Panggilan Adzan

Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk melakukan shalat Jum’at. Yaitu setelah terdengar panggilan adzan yang kedua.

Berdasarkan Firman Allah Ta’ala : "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al Jumu’ah : 9).

Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan Shalat Jum’at. Allah mengkhususkan melarang jual beli karena ini adalah perkara terpenting yang (sering) menyebabkan kesibukan seseorang. Larangan ini menunjukan makna pengharaman dan tidak sahnya jual beli. Kemudian Allah mengatakan "dzalikum" (yang demikian itu), yakni yang Aku telah sebutkan kepadamu dari perkara meninggalkan jual beli dan menghadiri Shalat Jum’at adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui akan maslahatnya. Maka, melakukan kesibukan dengan perkara selain jual beli sehingga mengabaikan shalat Jumat adalah juga perkara yang diharamkan.

Demikian juga shalat fardhu lainnya, tidak boleh disibukkan dengan aktivitas jual beli ataupun yang lainnya setelah ada panggilan untuk menghadirinya.

Allah Ta’ala berfirman : "Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (QS. 24:36-37-38).

2. Jual Beli Untuk Kejahatan

Demikian juga Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan Allah. Karena itu, tidak boleh menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer karena hal tersebut akan membantu terwujudnya permusuhan.

Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala : "Janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan" (Al Maidah : 2)

Demikian juga tidak boleh menjual persenjataan serta peralatan perang lainnya di waktu terjadi fitnah (peperangan) antar kaum muslimin supaya tidak menjadi penyebab adanya pembunuhan. Allah dan Rasul-Nya telah melarang dari yang demikian.

Ibnul Qoyim berkata : "Telah jelas dari dalil-dalil syara’ bahwa maksud dari akad jual beli akan menentukan sah atau rusaknya akad tersebut. Maka persenjataan yang dijual seseorang akan bernilai haram atau batil manakala diketahui maksud pembeliaan tersebut adalah untuk membunuh seorang Muslim. Karena hal tesebut berarti telah membantu terwujudnya dosa dan permusuhan. Apabila menjualnya kepada orang yang dikenal bahwa dia adalah Mujahid fi sabilillah maka ini adalah keta’atan dan qurbah. Demikian pula bagi yang menjualnya untuk memerangi kaum muslimin atau memutuskan jalan perjuangan kaum muslimin maka dia telah tolong menolong untuk kemaksiatan."

3. Menjual Budak Muslim kepada Non Muslim

Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir.

Allah ta’ala telah berfirman : "Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (QS. 4:141).

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ditinggikan atasnya" (shahih dalam Al Irwa’ : 1268, Shahih Al Jami’ : 2778)

4. Jual Beli di atas Jual Beli Saudaranya

Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga sepuluh, "Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga sembilan".. Atau perkataan "Aku akan memberimu lebih baik dari itu dengan harga yang lebih baik pula."

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah sebagian diatara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas (penjualan) sebagian lainnya." (Mutafaq alaihi).

Juga sabdanya: "Tidaklah seorang menjual di atas jualan saudaranya" (Mutafaq ‘alaih)

Demikian juga diharamkan membeli barang di atas pembelian saudaranya. Seperti mengatakan terhadap orang yang menjual dengan harga sembilan : "Saya beli dengan harga sepuluh"

Kini betapa banyak contoh-contoh muamalah yang diharamkan seperti ini terjadi di pasar-pasar kaum muslimin. Maka wajib bagi kita untuk menjauhinya dan melarang manusia dari pebuatan seperti tersebut serta mengingkari segenap pelakunya.

5. Samsaran

Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual belinya, begitupun sebaliknya, pent).

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam : "Tidak boleh seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap orang yang baadi (orang kampung lain yang dating ke kota)"

Ibnu Abbas Radhiallahu anhu berkata: "Tidak boleh menjadi Samsar baginya" (yaitu penunjuk jalan yang jadi perantara penjual dan pemberi).

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : "Biarkanlah manusia berusaha sebagian mereka terhadap sebagian yang lain untuk mendapatkan rizki Allah" (Shahih Tirmidzi, 977, Shahih Al Jami’ 8603)

Begitu pula tidak boleh bagi orang yang mukim untuk untuk membelikan barang bagi seorang pendatang. Seperti seorang penduduk kota (mukim) pergi menemui penduduk kampung (pendatang) dan berkata "Saya akan membelikan barang untukmu atau menjualkan." Kecuali bila pendatang itu meminta kepada penduduk kota (yang mukim) untuk membelikan atau menjualkan barang miliknya, maka ini tidak dilarang.

6. Jual Beli dengan ‘Inah

Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan cara ‘inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan (selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja (hilah), padahal intinya adalah riba.

Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah’ dan telah sibuk dengan ekor-ekor sapi (sibuk denngan bercocok tanam), sehingga kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan, dan (Dia) tidak akan mengangkat kehinaan dari kalian, sampai kalian kembail kepada agama kalian." (Silsilah As Shahihah : 11, Shahih Abu Dawud : 2956)

Dan juga sabdanya: "Akan datang pada manusia suatu masa yang mereka menghalalkan riba dengan jual beli " (Hadits Dha’if , dilemahkan oleh Al Albany dalam Ghayatul Maram : 13)
7. Jual Beli secara Gharar (yang tidak jelas sifatnya) Yaitu segala bentuk jual beli yang di dalamnya terkandung jahalah (unsur ketidakjelasan), atau di dalamnya terdapat unsur taruhan atau judi. . Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah telah mencegah (kita) dari (melakukan) jual beli (dengan cara lemparan batu kecil) dan jual beli barang secara gharar.” (Shahih: Muktashar Muslim no: 939, Irwa’ul Ghalil no: 1294, Muslim III: 1153 no: 1513, Tirmidzi II: 349. no: 1248, ‘Aunul Ma’bud IX: 230 no: 3360, Ibnu Majah II: 739 no: 2194 dan Nasa’i VII: 262). . Imam Nawawi dalam Syarhu Muslimnya X: 156 menjelaskan “Adapun larangan jual beli secara gharar, merupakan prinsip yang agung dari sekian banyak prinsip yang terkandung dalam Bab Jual Beli, oleh karena itu, Imam Muslim menempatkan hadits gharar ini di bagian pertama dalam Kitabul Buyu’ yang dapat dimasukkan ke dalamnya berbagai permasalahan yang amat banyak tanpa batas, seperti, jual beli budak yang kabur, jual beli barang yang tidak ada, jual beli barang yang tidak diketahui, jual beli barang yang tidak dapat diserahterimakan, jual beli barang yang belum menjadi hak milik penuh si penjual, jual beli ikan di dalam kolam yang lebar, jual beli air susu yang masih berada di dalam tetek hewan, jual beli janin yang ada di dalam perut induknya, menjual sebagian dari seonggok makanan dalam keadaan tidak jelas (tanpa ditakar dan tanpa ditimbang), menjual satu pakaian di antara sekian banyak pakaian, menjual seekor kambing di antara sekian banyak kambing, dan yang semisal dengan itu semuanya. Dan, semua jual beli ini bathil, karena sifatnya gharar tanpa ada keperluan yang mendesak.” . Selanjutnya, beliau (Nawawi) berkata : “Kalau ada hajat yang mengharuskan melakukan gharar, dan tertutup kemungkinan untuk menghindarinya, kecuali dengan amat sulit sekali, lagi pula gharar tersebut bersifat sepele, maka boleh jual beli yang dimaksud. Oleh sebab itu, kaum muslim sepakat atas bolehnya jual beli jas yang di dalamnya terdapat kapas yang sulit dipisahkan, dan kalau kapasnya dijual secara terpisah justru tidak boleh.” “Ketahuilah bahwa jual beli barang secara mulamasah, secara munabadzah, jual beli barang secara habalul habalah, jual beli barang dengan cara melemparkan batu kecil, dan larangan itu semua yang terkategori jual beli yang ditegaskan oleh nash-nash tertentu maka semua itu masuk ke dalam larangan jual beli barang secara gharar. Akan tetapi jual beli secara gharar ini disebutkan secara sendirian dan ada larangan secara khusus, karena praktik jual beli gharar ini termasuk praktik jual beli jahiliyah yang amat terkenal. Wallahu a’lam.”
8. Jual Beli Secara Mulamasah dan Munabadzah Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “(Kita) dilarang dari (melakukan) dua bentuk jual beli: yaitu secara mulamasah dan munabadzah. Adapun munabadzah ialah setiap orang dari pihak penjual dan pembeli meraba pakaian rekannya tanpa memperhatikannya. Sedangkan munabadzah ialah masing-masing dari keduanya melemparkan pakaiannya kepada rekannya, dan salah satu dari keduanya tidak memperhatikan pakaian rekannya” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 938 dan Muslim III: 1152 no: 2 dan 1511). Dari Abu Sa’ad al-Khudri ra, ia berkata, “Rasulullah telah melarang kita dari (melakukan) dua bentuk jual beli dan dua hal yang mengandung ketidakjelasan: yaitu jual beli secara mulamasah dan munabadzah. Mulamasah ialah seseorang meraba pakaian orang lain dengan tangannya, pada waktu malam atau siang hari, tetapi tanpa membalik-baliknya; dan munabadzah ialah seseorang melemparkan pakaiannya kepada orang lain dan orang lain itupun melemparkan pakaiannya kepada pelempar pertama yang berarti masing-masing telah membeli dari yang lainnya tanpa diteliti dan tanpa saling merelakan.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1152 No 1512, dan ini lafadznya, Fathul Bari IV: 358 no: 2147, 44, ’Aunul Ma’bud IX: 231 no: 3362 dan Nasa’i VII: 260).
9. Jual Beli Barang secara Habalul Habalah Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Adalah kaum jahiliyah biasa melakukan jual beli daging unta sampai dengan lahirnya kandungan, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting. Dan, habalul habalah yaitu unta yang dikandung itu lahir, kemudian unta yang dilahirkan itu bunting, kemudian Nabi melarang yang demikian itu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 356 no: 2143, Muslim III: 1153 no: 1514, ‘Aunul Ma’bud IX: 233 no: 3365, 64, Tirmidzi II: 349 no: 1247 secara ringkas, Nasa’i VII: 293 dan Ibnu Majah II:740 no: 2197 secara ringkas).
10. Jual Beli Dengan Lemparan Batu Kecil Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah saw melarang jual beli dengan lemparan batu kecil dan jual beli secara gharar.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no: 1817 dan Ibnu Majah II: 752 no: 2235). Dalam kitab Syarhu muslim X:156, Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Adapun jual beli secara lemparan batu-batu kecil itu, ada tiga penafsiran: Pertama, seorang penjual berkata pada si pembeli, ‘Saya menjual dari sebagian pakaian ini, yang terkena lemparan batu saya,’ atau ia berkata kepada si pembeli, ‘Saya menjual kepadamu tanah ini, yaitu dari sini sampai dengan batas tempat jatuhnya batu yang dilemparkan.’ Kedua, seorang berkata kepada si pembeli, ‘Saya jual kepadamu barang ini, dengan catatan engkau mempunyai hak khiyar (pilih) sampai aku melemparkan batu kecil ini.’ Ketiga, pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu yang dilempar dengan batu sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata kepada penjual, ‘Apabila saya lempar pakaian ini dengan batu, maka ia saya beli darimu dengan harga sekian.’
11. Upah Persetubuhan Pejantan Dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Nabi saw melarang (makan) upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372 no: 1291 dan Nasa’i VII: 310).
12. Jual Beli Sesuatu yang Belum Menjadi Hak Milik Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata : Aku berkata, “Ya Rasulullah, ada seorang yang akan membeli dariku sesuatu yang tidak kumiliki. Bolehkan saya menjualnya?” Maka jawab beliau, “Jangan kamu jual sesuatu yang tidak menjadi milikmu.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1292, Ibnu Majah II: 737 no:2187, Tirmidzi II:350 no: 1250, ‘Aunul Ma’bud IX: 401 no: 3486, Nasa’i VII: 289).
13. Jual Beli Barang yang Belum Diterima Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya hingga ia menerimanya.” Ibnu Abas berkata, “Saya menduga segala sesuatu sama statusnya dengan makanan.” (Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1160 no: 30 dan 1525 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 349 no: 2135, ‘Aunul Ma’bud IX: 393 no:3480, Nasa’i VII: 286 dan Tirmidzi II: 379 no: 1309). Dari Thawas dari Ibnu Abas ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa membeli makanan, maka janganlah menjualnya hingga ia manakarnya.” Kemudian saya (Thawas) berkata kepada Ibnu Abas, “Mengapa?” Jawabnya, “Tidakkah engkau melihat orang-orang membeli dengan emas, sedangkan makanan yang dibeli itu tertangguhkan.” (Muttafaqun ‘alaih: Muslim III: 1160 no: 31 dan 1525 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari IV: 347 no: 2132 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 392 no: 3479). 8. Jual Beli Atas Pembelian Saudara Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah sebagian di antara kamu membeli atas pembelian sebagaian yang lain.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 373 no: 2165, Muslim III: 1154 no:1412, dan Ibnu Majah II: 333 no: 1271). Dari abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seseorang Muslim menawar atas tawaran saudaranya.” (Shahih: Irwa’ul Ghalil no: 1298, dan Muslim III: 1154 no: 1515).

14. Bay’ Fudhuli
Bay’ Fudhuli adalah jika seorang menjual sesuatu tanpa ada izin dari yang punya barang. Menurut Syafi’iyah jual beli tidak sah, sedangkan Menurut Hanafiyah Jual beli ini hukumnya sah jika pemilik barang mengizinkan pasca transaski. Jika tidak,maka tidak.(Wa illa, Fa la).
15. Talaqqi Rukban
Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa ”Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar” (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari). Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang. Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhari, Kitab al-Buyu’ bab An-Nahyu ‘an Talaqqy ar-Rukban, No hadits 2162 hlm 38.
Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang.